Selain itu, agresivitas kebijakan moneter pada 2016 terbukti belum mampu menurunkan bunga kredit dengan signifikan. Buktinya, sampai dengan akhir tahun penurunan suku bunga kredit baru mencapai 67 basis point (bps). Sementara, suku bunga deposito turun lebih besar, yakni 131 bps.
(Baca juga: Perbankan Syariah Perlu Jaga Momentum Pertumbuhan)
Pada 2017 pelonggaran moneter akan menghadapi tantangan yang lebih berat. Faktor Fed Rate yang diprediksi mengalami kenaikan hingga tiga kali sepanjang 2017, ditambah fenomena “super dollar”, membuat otoritas moneter tampaknya cenderung mempertahankan bunga acuan. Inflasi juga menjadi hambatan penurunan bunga acuan. Kenaikan tarif listrik akibat pencabutan subsidi, penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), serta naiknya harga bahan makanan pada awal tahun ikut menambah beban bagi pelonggaran suku bunga.
Oleh karena itu, ketika instrumen moneter BI tidak dapat diandalkan untuk menurunkan bunga kredit, opsi lain mendesak untuk dilakukan. Salah satu cara tersebut adalah mendorong bank agar lebih efisien. Saat ini rata-rata rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) bank umum masih di atas 80%. Gemuknya biaya operasional juga berkaitan dengan jumlah bank yang terlalu banyak di Indonesia. (Bersambung ke halaman berikutnya)