Kebijakan prefunding (mencari pendapatan dini) pemerintah juga dinilai jadi masalah baru bagi perbankan. Jumlah prefunding untuk belanja fiskal awal 2017 sebesar Rp116 triliun. Dalam merealisasikan strategi prefunding tersebut, pemerintah berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) sekitar Rp63,5 triliun.
Bunga SBN Indonesia sayangnya terbilang tinggi dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mencatatkan bunga obligasi negara rata-rata di atas 7,9% untuk tenor 10 tahun. Sementara, India hanya 6,5%, Filipina 5%, dan Malaysia 4,3%. Tingginya bunga mencerminkan tingkat risiko yang tinggi bagi Indonesia, terlebih setelah Trump terpilih dan kenaikan Fed Rate.
(Baca juga: OJK Rilis Panduan Digital Branch Perbankan)
Tingginya bunga surat utang negara membuat perang likuiditas makin pelik. Pemerintah dan perbankan saling berebut dana yang tersedia di pasar. Dalam perebutan tersebut, jelas posisi bank akan kalah, kecuali menawarkan special rate yang tinggi. Perebutan itu membuat suku bunga kredit sulit turun, kendati Bank Indonesia (BI) sudah jorjoran menurunkan suku bunga acuannya dari awal tahun lalu.
Poin penting untuk keluar dari ketatnya likuiditas adalah koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah mesti paham momentum penerbitan SBN, jangan sampai berbarengan dengan bank yang menerbitkan obligasi atau instrumen deposito lainnya. Waktu penerbitan SBN perlu didiskusikan bersama antar-stakeholder terkait. Jangan sampai egoisme fiskal akhirnya menyebabkan dana yang tersedia di pasar tersedot seluruhnya untuk membeli surat utang pemerintah. (Bersambung ke halaman berikutnya)