Oleh Ana Mustamin
PADA Kamis (14/01/2021), Mahkamah Konstitusi mengeluarkan amar putusan mengabulkan sebagian permohonan Badan Perwakilan Anggota (BPA) Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 yang mengajukan uji materi UU 40/2011 tentang Perasuransian. Ada 3 poin yang diputuskan, namun intinya MK memerintahkan DPR dan Presiden menyelesaikan UU tentang Usaha Bersama paling lama 2 tahun sejak putusan ini dikeluarkan. Ini adalah perintah ke-2 setelah sebelumnya pada tahun 2013 MK juga memerintakan hal yang sama melalui Putusan MK No. 32/PUU-XII/2013.
Tentu saja saya berharap MK tidak kehilangan marwah kedua kali, karena perintahnya (yang seharusnya bersifat final) dianggap angin lalu oleh DPR dan Presiden. Sudah lama saya meyakini bahwa segala sengkarut Bumiputera hari ini bermuara pada kekosongan regulasi di tingkat pemerintah. Bentuk badan usaha Bumiputera, yakni Mutual atau Usaha Bersama, tidak dikenal dalam pranata hukum NKRI, meskipun bentuk badan usaha ini sudah hadir jauh sebelum republik ini lahir. Usia Bumiputera pada 12 Februari 2021 mencapi 109 tahun. Sementara NKRI baru 75 tahun. Dan ketika Bumiputera bermasalah hari ini, semua pihak menuding sebagai buah kesalahan manajemen – pengelolaan perusahaan tidak mengacu kepada praktik tata kelola yang benar.
Pertanyaan yang luput dikaji: tata kelola mana yang layak digugu dan menjadi acuan pengelolaan Bumiputera ketika undang-undang Usaha Bersama tidak pernah ditemukan dalam pranata hukum RI? Selama ini, semua pihak mencoba memahami persoalan Bumiputera dengan menggunakan kacamata UU Perseroan Terbatas. Sepanjang Bumiputera dipandang dengan persepktif PT, maka sepanjang itu pula kita akan bias, dan persoalan Bumiputera tidak akan pernah menemukan solusi.
Implikasi Kekosongan Regulasi
Tanpa UU Usaha Bersama, tidak ada yang bisa merumuskan best practice Usaha Bersama di Indonesia. Tidak oleh manajemen Bumiputera, meskipun mereka sudah seabad menjalankan usaha Mutual, apalagi orang luar Bumiputera. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang hanya memahami best practice Perseroan Terbatas dan Koperasi sebagai bentuk badan usaha. Dunia akademik dan buku-buku manajemen di Indonesia hanya membahas PT dan Koperasi. Aturan-aturan yang dibuat regulator umumnya adalah aturan-aturan ‘rasa PT’ atau ‘rasa Koperasi’.
Ketiadaan UU Usaha Bersama, melahirkan implikasi yang tidak sederhana bagi pengelolaan Bumiputera.
Pertama, dari aspek permodalan dan ukuran kesehatan. Perusahaan Mutual adalah perusahaan berbasis perkumpulan orang – sebuah bentuk gotong royong, bukan perkumpulan modal. Bumiputera didirikan dengan modal nol rupiah. Dana operasional diperoleh dari pembayaran iuran atau premi pemegang polis pertama. Dari sisi ini saja, jika ukuran kesehatan perusahaan asuransi menggunakan RBC (Risk Based Capital), maka sejak awal saja Bumiputera sudah bermasalah. Dalam perusahaan Mutual juga tidak dikenal mekanisme penambahan modal, sebagaimana di Perseroan Terbatas. Sehingga setiap kali mengalami RBC minus – baik karena kesalahan pengelolaan maupun akibat krisis ekonomi makro, manajemen Bumiputera harus ‘bermanuver’ agar ketentuan ukuran kesehatan bisa terpenuhi dalam waktu singkat. Manuver ini yang membuka peluang salah kelola. Karena tidak ada pintu darurat lain. Jika UU Usaha Bersama ada (yang kompatibel dengan UU PT atau Koperasi), tentu pintu darurat itu lebih mudah, karena dimungkinkan demutualisasi ke bentuk badan usaha lain. Pada sisi lain, perusahaan Mutual seharusnya punya ukuran kesehatan sendiri yang berbeda dengan PT, karena karakteristik dan struktur permodalan yang juga berbeda.
Kedua, pemegang saham pengendali. Perusahaan Mutual adalah perusahaan yang menempatkan pemegang polis sekaligus menjadi pemilik. Sebagai perusahaan dengan jumlah pemilik tanpa batas (tergantung jumlah portofolio pemegang polis), maka tidak ada yang memiliki kepentingan utama di perusahaan Mutual. Kondisi ini menyulitkan pengawasan dan pengendalian dari pemilik sebagaimana pemegang saham mayoritas pada Perseroan Terbatas. Tanpa ‘pemilik’, maka akan mudah pula mengundang intervensi berbagai pihak. Karena melibatkan pemegang polis dalam jumlah yang tak terbatas ini, selayaknya pengelolaan perusahaan mutual diatur secara high regulation, sebagaimana perusahaan publik yang tercatat di bursa saham. Kasus Bumiputera hari ini menyisakan pertanyaan besar: siapa ultimate shareholders yang harus bertanggung jawab atas segala sengkarut Bumiputera? Seharusnya ini diatur dalam UU.
Ketiga, BPA sebagai lembaga tertinggi. Tanpa UU Usaha Bersama, maka Anggaran Dasar (AD) menjadi peraturan tertinggi di Bumiputera. Otomatis, BPA (Badan Perwakilan Anggota) yang menjadi representasi Pemegang Polis/Pemilik, pun menjelma menjadi lembaga super body. Mengapa? Karena AD dirumuskan oleh BPA, dan bisa diamandemen kapan saja. Karena itu sidang BPA bisa menjadi sangat subjektif, tidak seperti RUPS yang diatur sangat ketat dalam UU PT. Padahal BPA memiliki tugas maha penting: menetapkan arah kebijakan perusahan, mengangkat dan memberhentikan Komisaris dan Direksi. Tanpa UU Usaha Bersama, tidak ada regulasi yang menjadi landasan idiil dalam merumuskan Anggaran Dasar. Tidak ada konstitusi yang bisa membatasi kewenangan BPA. Jadi jangan heran kalau BPA bisa melakukan bongkar pasang anggota Direksi dan Komisaris setiap tahun misalnya, tergantung cita rasa mereka. Atau mengarahkan kebijakan investasi yang belum tentu selaras keinginan manajemen atau regulator. Tokh tidak ada aturan yang bisa menuntut pertanggungjawaban anggota BPA sekiranya mereka melakukan kekeliruan atau kesalahan. Pada sisi lain, dengan tidak adanya UU Usaha Bersama, maka tidak ada pedoman sahih tentang proses pemilihan dan pengaturan wewenang Anggota BPA yang ideal, yang menjamin terselenggaranya cheak and balances dalam organisasi puncak perusahaan.
Keempat, dai sisi Manajemen. Karena tidak ada pedoman baku, maka orang Bumiputera sendiri memahami Mutual secara alamiah, turun-temurun. Mereka mencontoh apa yang dilakukan pendahulunya, melanjutkannya dengan cara yang sama lalu memodifikasinya sesuai dengan tuntutan dan persoalan yang ditimbulkan perkembangan zaman. Pada sisi lain, memang banyak persoalan-persoalan teknis yang tidak memiliki jawaban pada aturan-aturan pemerintah rasa PT. Kebijakan produk misalnya, apakah Mutual bisa memasarkan produk yang sama dengan PT? Bagiaman dengan produk asuransi atau investasi dengan risiko tinggi? Mengingat bahwa pemegang polis seharusnya tidak hanya menerima atau menanggung keuntungan dan kerugian produk, tapi juga keuntungan dan kerugian operasional perusahaan secara menyeluruh (termasuk kerugian produk yang tidak mereka beli) lantaran pemegang polis juga sekaligus pemilik perusahaaan Tafsir tentang praktik Mutual kadang menjadi perdebatan internal sesama pengelola Bumiputera sendiri; dan akan semakin runyam jika pengelola (direktur) yang masuk berasal dari luar yang sama sekali tidak memahami mutual, menggunakan kacamata PT, dan ahistoris terhadap perjalanan Bumiputera.
Kelima, dari sisi Pemegang Polis. Mutual di mata masyarakat pun merupakan barang aneh. Bagaimana tidak jika mereka tidak pernah menemukan wujudnya di kitab perundang-undangan RI? Meskipun polis Bumiputera mencantumkan posisi pemegang polis sebagai Anggota Bumiputera/pemilik perusahaan, pemegang polis tetap tidak mudeng. Kepala mereka adalah kepala yang berisi preferensi pengetahuan tentang perusahaan Perseroan Terbatas, bukan Usaha Bersama. Meskipun Anggaran Dasar menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan polis yang mereka terima, ya tetap manajemen Bumiputera dianggap salah karena tidak memberikan awareness yang cukup tentang hak dan kewajiban pemegang polis sebagai pemilik perusahaan. Pada sisi lain, Bumiputera juga kesulitan mengeksekusi “sharing the gain, sharing the pain” sebagai prinsip utama Mutual hanya berbekal Anggaran Dasar. Negara tidak mengatur. Alih-alih pemegang polis mau ikut menanggung kerugian, mereka malah akan menuding Bumiputera melakukan tindakan sepihak. Tanpa UU Usaha Bersama, pemegang polis perusahaan Mutual tetap akan merasa sebagai pemegang polis PT.
Mendesak
Sudah saatnya Bumiputera mendapatkan kepastian hukum dalam berusaha. Meski sudah sangat terlambat, dibanding tidak sama sekali. Selama satu abad lebih, manajemen Bumiputera mengelola perusahaan tanpa acuan konstitusional. Hal-hal teknis operasional membutuhkan acuan yang spesifik, bukan ‘Usaha Bersama rasa PT’. Pengaturan tentang hal-hal yang dianggap sebagai praktik tata kelola yang baik misalnya, semestinya memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan Perseroan Terbatas.
Sengkarut yang terjadi di Bumiputera saat ini juga tidak lepas dari banyaknya intervensi pihak-pihak di luar perusahaan, dan gagasan-gagasan solusi yang lahir dari citarasa PT namun justru menyesatkan. Karena Mutual sejatinya perusahaan publik, maka peran pengawasan dan pengendalian oleh negara menjadi penting. Salah satunya melalui UU. Bumiputera adalah perusahaan rakyat dengan skala besar, mengelola aset triliunan. Adalah naif negara membiarkan perusahaan ini bermain tanpa aturan selama satu abad, lalu berharap semuanya akan baik-baik saja karena pengelola dan pengendalinya berhati ‘malaikat’ tanpatendensi.
*) Penulis adalah Anggota Dewan Pakar BS Center, mantan Direktur SDM dan Umum AJB Bumiputera 1912