Jakarta–Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan jilid VI pada 5 November 2015 lalu, yang ditujukan untuk mendorong pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Diharapkan dengan keluarnya paket kebijakan ke VI, dan juga sejumlah paket kebijakan lainnya, adalah terdongkraknya kinerja sektor industri nasional, sehingga pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang sedang mengalami perlambatan.
Direktur Riset CORE Indonesia, Mohammad Faisal mengungkapkan, KEK memang seringkali diposisikan sebagai mesin pertumbuhan sektor Industri oleh banyak negara berkembang lainnya, baik untuk tujuan promosi ekspor, menyerap tenaga kerja, mendorong masuknya investasi asing maupun domestik, pembangunan regional, meningkatkan pendapatan negara atas pajak, dan sebagainya.
Berdasarkan data dari United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), pada tahun 2015, terdapat sekitar 4.500 KEK di 140 negara yang mempekerjakan hampir 66 juta penduduk dunia. Di kawasan ASEAN sendiri terdapat 84 KEK yang beroperasi di 10 negara. Masing-masing KEK tersebut menawarkan berbagai macam insentif untuk menarik investasi dan bahkan telah terjadi persaingan, dimana terjadi perang insentif antar negara.
Vietnam merupakan contoh terkini sebagai negara yang mampu menarik investasi besar asing dengan insentif yang ditawarkan melalui KEK yang dikembangkannya. Banyak perusahaan multinasional seperti Samsung, Blackberry, maupun Foxconn akhirnya memilih untuk menanamkan investasinya di KEK Vietnam, dibandingkan dengan di Indonesia. Hal ini tidak lepas karena berbagai insentif yang ditawarkan Vietnam, seperti pembebasan pajak hingga 30 tahun diseamping upah buruh murah.
“Hingga tahun 2014, KEK di Vietnam sudah berhasil menangkap 49% dari total investasi asing dan berkontribusi terhadap 4% dari total tenaga kerja,” ujar Faisal dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 5 Januari 2016.
Namun demikian, berbagai pengalaman negara-negara di dunia juga menunjukkan bahwa tidak semua KEK mencapai keberhasilan. Bahkan tidak sedikit KEK yang akhirnya gagal berkembang. Pemberian berbagai insentif untuk pengembangan KEK tentunya membawa sejumlah konsekuensi bagi keuangan pemerintah, baik dari potensi pendapatan yang hilang maupun ada tambahan biaya yang harus ditanggung pemerintah.
“Di antaranya itu hilangnya pendapatan atas pajak, biaya pengadaan lahan, biaya pembangunan infrastruktur, biaya eksploitasi lingkungan dan biaya sosial-politik,” tukasnya.
Oleh sebab itu, jika KEK mengalami kegagalan, atau jika manfaat yang didapatkan dari KEK (penyerapan tenaga kerja, kontribusi terhadap investasi dan ekspor, adanya alih pengetahuan dan teknologi, dsb) tidak signifikan, berarti Pemerintah justru menanggung kerugian akan insentif yang telah diberikan.
Agar KEK benar-benar dapat berperan sebagai mesin pendorong pertumbuhan sektor industri, CORE memandang bahwa pemerintah semestinya tidak semata-mata terpaku pada pemberian berbagai insentif pada kawasan tersebut. Paling tidak ada tiga hal mendasar lainnya yang perlu menjadi perhatian. Pertama, menajamkan rencana dan arah pengembangan KEK, serta mensinergikannya dengan perencanaan pembangunan nasional dan strategi pembangunan industri nasional secara komprehensif dan terintegrasi.
“Negara yang telah sukses mengembangkan KEK seperti Tiongkok, menjadikan KEK di negeri tersebut sebagai bagian dari strategi reformasi pembangunan nasional. KEK berperan sebagai instrumen untuk melakukan reformasi. kelembagaan, reformasi pasar penggunaan lahan dan tenagakerja, serta mempromosikan inovasi ekonomi,” ucap Faisal.
Perencanaan pengembangan KEK di Indonesia saat ini masih bersifat parsial, belum terintegrasi dengan rencana pembangunan industri nasional, dan belum secara tegas dikaitkan dengan target-target pencapaian ekspor dan investasi, maupun pertumbuhan ekonomi. Dalam RPJM 2015-2019, misalnya, yang menjadi sasaran pembangunan seharusnya bukan hanya berapa banyak KEK yang dibangun hingga akhir tahun 2019, tetapi seberapa besar kontribusi KEK terhadap ekspor ataupun investasi yang masuk ke Indonesia.
“Demikian pula halnya, pengembangan KEK juga semestinya selaras dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN). Saat ini, faktanya, tidak semua KEK masuk ke dalam 22 Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI) yang ditetapkan dalam RIPIN 2015-2019,” papar dia.
Lalu yang kedua, meningkatkan kualitas institusi dan membagi kewenangan secara lebih tegas dalam pengelolaan KEK. Berbagai insentif yang diberikan tidak akan banyak efektif menarik investasi apabila pemerintah kurang memperhatikan peningkatan kualitas institusi dan pembagian kewenangan secara lebih tegas dalam pengelolaan KEK.
“Di antara kunci keberhasilan KEK yang dikembangkan di sejumlah negara lain ialah adanya badan otoritas KEK yang efektif, independen dalam memahami persoalan industri, memiliki legal framework yang tegas, serta mampu tanggap terhadap kebutuhan pelaku industri (business-friendly),” ujar dia.
Untuk itu, kata dia, perlu ada pembagian kewenangan yang tegas antara pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan KEK, termasuk juga sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah aerah dimana KEK berada. Tugas dan wewenang pemangku kepentingan KEK perlu disesuaikan agar dapat menjawab kebutuhan para investor, seperti akan penyelesaian sengketa tenaga kerja, imigrasi, perpajakan, penggunaan lahan dan zonasi.
“Kapasitas administrator KEK yang mendapatkan kewenangan memberikan izin untuk pelaku usaha juga harus ditingkatkan agar tidak terjadi penyalahgunaan atau justru memperpanjang prosedur perijinan,” jelasnya.
Sedangkan yang ketiga adalah, pengembangan KEK semestinya diintegrasikan dengan program-program Pemerintah lainnya. Sebagai contoh, rencana program pembangunan 100 technopark oleh Pemerintah sebaiknya diintegrasikan dengan pembangunan KEK. Pembangunan kawasan teknologi yang berdekatan dengan KEK, akan sangat membantu peningkatan daya saing suatu negara melalui penggalakkan inovasi untuk industri, serta meningkatkan keterampilan tenaga kerja.
“Ini juga sudah dipraktikkan oleh sejumlah KEK di negara lain, seperti Korea Selatan, Taiwan, Tiongkok yang membangun High-tech Industrial Development Zones berdekatan dengan KEK mereka,” tambahnya.
Dengan adanya terintegrasinya pengembangan KEK dengan program-program Pemerintah lainnya, secara tidak langsung Pemerintah juga mengirimkan sinyal kepada dunia usaha akan komitmen dan kesungguhan Pemerintah dalam membangun KEK. Dengan demikian, KEK yang dibangun tetap menarik dan Pemerintah tetap dapat menjaga antusiasme investor.
“Kalaupun seandainya insentif yang diberikan selama ini (misalnya keringanan pajak, dsb) tidak sebesar insentif serupa yang diberikan oleh negara-negara lain untuk KEK yang mereka kembangkan,” tutup Faisal. (*) Rezkiana Nisaputra