Kejar Ekonomi Tumbuh 6 Persen, INDEF Nilai Kredit Harus Naik 2 Kali Lipat

Kejar Ekonomi Tumbuh 6 Persen, INDEF Nilai Kredit Harus Naik 2 Kali Lipat

Poin Penting

  • INDEF menilai pertumbuhan ekonomi 6 persen hanya bisa dicapai jika kredit perbankan naik dua kali lipat, karena laju kredit saat ini masih terlalu rendah.
  • Pertumbuhan kredit 8-12 persen dinilai hanya mampu menjaga ekonomi di kisaran 5 persen, mengingat 70 persen likuiditas ekonomi bergantung pada penyaluran kredit perbankan ke sektor riil.
  • INDEF mendorong sinergi kebijakan moneter dan makroprudensial BI untuk mempercepat kredit, di tengah permintaan yang masih tertahan akibat sikap wait and see dunia usaha.

Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai salah satu kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 6 persen terletak pada akselerasi penyaluran kredit perbankan. Tanpa lonjakan kredit yang signifikan, target pertumbuhan tinggi dinilai sulit tercapai.

Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto menegaskan, laju pertumbuhan kredit saat ini masih terlalu rendah untuk menopang ambisi pertumbuhan ekonomi 6 persen. Menurutnya, kredit perlu tumbuh dua kali lipat dibandingkan realisasi saat ini.

“Laju kredit harus lebih akseleratif. Kalau mau (ekonomi) tumbuh 6 persen, harus berani menargetkan kredit kita dua kali lipat dari capaian saat ini,” ujar Eko dalam “Diskusi Publik Catatan Akhir Tahun Indef: Liburan di Tengah Tekanan Fiskal” yang digelar secara daring, Senin, 29 Desember 2025.

Baca juga: INDEF Ungkap Strategi Ekonomi RI Tembus 6 Persen di Tengah Tekanan Fiskal

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan kredit perbankan pada November 2025 tercatat sebesar 7,74 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 10,79 persen (yoy). BI sendiri menargetkan pertumbuhan kredit dapat menyentuh level 8 persen pada Desember 2025.

Pertumbuhan Kredit 8-12 Persen Dinilai Tak Cukup

Menurut Eko, pertumbuhan kredit di kisaran tersebut hanya mampu menjaga laju pertumbuhan ekonomi di sekitar 5 persen, sebagaimana tecermin dari pengalaman historis selama satu dekade terakhir.

Ia menjelaskan bahwa sekitar 70 persen likuiditas perekonomian masih ditentukan oleh sektor perbankan. Oleh karena itu, ruang pertumbuhan ekonomi akan terbatas jika penyaluran kredit ke sektor riil tidak diperkuat.

“Sekitar 70 persen likuiditas ditentukan oleh mengucur atau tidaknya dana perbankan ke sektor riil. Dulu, ketika (ekonomi) tumbuh 6 persen, sektor riil dikucuri kredit dengan laju 20 persen. Sekarang, dengan target 8-12 persen yang berarti tengahnya 10 persen, susah berharap (ekonomi) 6 persen,” katanya.

Baca juga: INDEF Sebut Daya Beli Masyarakat Masih Tertekan Meski Ekonomi Tumbuh

Dorong Sinergi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial

Untuk mendorong akselerasi kredit, Eko menilai bank sentral perlu mengombinasikan kebijakan ekspansi moneter dengan optimalisasi kebijakan makroprudensial.

Menurutnya, masih terdapat ruang kebijakan makroprudensial yang dapat dimanfaatkan untuk menopang sektor riil, terutama dalam memberikan kepastian di tengah ketidakpastian ekonomi.

Baca juga: Kredit ‘Nganggur’ Kian Tinggi, OJK Optimistis Ekonomi Domestik Membaik

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa permintaan kredit yang masih tertahan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain sikap wait and see pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, dan penurunan suku bunga kredit yang berlangsung relatif lambat.

Meski demikian, Perry menegaskan bahwa minat penyaluran kredit perbankan secara umum masih cukup baik.

Hal itu tecermin dari persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang semakin longgar, meskipun masih terbatas pada segmen kredit konsumsi serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Di tengah tantangan tersebut, BI memastikan ketahanan industri perbankan nasional tetap berada dalam kondisi yang solid. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62