Jakarta – Kejahatan siber berbasis kecerdasan buatan (AI) di Indonesia melonjak drastis. Menurut survei IDC, 54 persen organisasi di Indonesia melaporkan mengalami serangan AI dalam 12 bulan terakhir, dan 36 persen di antaranya menyatakan insiden meningkat hingga tiga kali lipat dalam kurun waktu setahun.
Adapun jenis serangan yang paling sering dilaporkan mencakup penggunaan deepfake dalam penipuan email bisnis (business email compromise/BEC), pemetaan permukaan serangan secara otomatis, serta penggunaan AI dalam serangan brute force dan credential stuffing.
Menurut Simon Piff, Research Vice-President, IDC Asia-Pacific, serangan semacam ini mengeksploitasi kelemahan dalam perilaku manusia, konfigurasi sistem, hingga celah visibilitas jaringan.
“Organisasi kini menghadapi lonjakan ancaman yang semakin senyap dan kompleks — dari kesalahan konfigurasi dan aktivitas internal,” jelas Simon dikutip 12 Juni 2025.
Baca juga: Makin Agresif! Ini Tren Serangan Siber yang Patut Diwaspadai
Di sisi lain, kesiapan organisasi menghadapi tren ini masih rendah. Hanya 13 persen responden merasa sangat percaya diri menghadapi serangan AI. Bahkan, 18 persen belum memiliki kemampuan deteksi sama sekali.
“Ini menandakan kesenjangan yang serius,” tambah Simon.
Menurut survei tersebut, rata-rata organisasi di Indonesia hanya 13 persen staf TI-nya yang fokus pada keamanan siber. Bahkan, hanya 6 persen organisasi yang memiliki tim khusus untuk security operations atau threat hunting.
Kompleksitas tersebut memang menjadi tantangan tersendiri bagi tim keamanan siber organisasi di Indonesia.
“Kompleksitas adalah medan pertempuran baru bagi tim keamanan siber,” ujar Edwin Lim, Country Director Fortinet Indonesia.
Kata Edwin, ketika ancaman menjadi semakin senyap dan terkoordinasi, Fortinet siap membantu organisasi di seluruh Indonesia melalui pendekatan platform terpadu yang menggabungkan visibilitas, otomasi, dan ketahanan.
Baca juga: Studi IBM: Adopsi Teknologi AI di RI Terkendala Infrastruktur, Keamanan Data, dan Talenta
“Perlindungan digital terletak pada kecepatan, kesederhanaan, dan strategi,” jelasnya.
Kini, investasi terbesar organisasi diarahkan ke keamanan identitas, jaringan, serta penerapan konsep Zero Trust dan SASE. Sebanyak 96 persen organisasi juga sudah mulai menggabungkan jaringan dan sistem keamanan mereka dalam satu platform.
Langkah ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi operasional sekaligus memperkuat daya tahan terhadap serangan siber berbasis AI. (*)