oleh Agung Galih Satwiko
BELAKANGAN, perdebatan mengenai kebijakan “Helicopter Money” semakin menghangat. Terpicu oleh tidak efektifnya kebijakan moneter melalui Quantitative Easing terutama di zona Eropa dan Jepang, berbagai ekonom mulai membahas kebijakan yang tidak konvensional seperti helicopter money.
Financial Times dua hari lalu memberitakan mengenai hambatan terhadap kebijakan helicopter money yang saat ini mulai mengecil (The Hurdles to Helicopter Money are Shrinking). Dinamika transmisi kebijakan moneter terhadap perekonomian sudah berkembang sedemikian pesat dan kompleks sehingga kebijakan moneter yang mungkin cocok di suatu negara bisa jadi tidak cocok diterapkan di negara lain.
Kebijakan moneter yang dikenal selama ini adalah kebijakan moneter yang konvensional seperti menurunkan tingkat bunga dan quantitative easing dengan harapan likuiditas meningkat, inflasi naik dan ekonomi akan tumbuh. Belakangan kebijakan menjadi semakin tidak konvensional melalui tingkat bunga acuan yang semakin mendekati nol persen, bahkan di beberapa negara telah negatif. Singkat cerita, bahkan dengan kebijakan tingkat bunga acuan negatif sekalipun dampak terhadap ekonomi di Eropa dan Jepang tidak atau belum seperti yang diharapkan.
Helicopter money, sebagaimana pertama kali dikenalkan oleh Milton Friedman pada tahun 1948 secara intuitif adalah kebijakan, yang Pemerintah berperan dalam meningkatkan agregat permintaan yang lemah melalui pembagian uang kepada masyarakat secara langsung dari helikopter. Tentu hal ini adalah kiasan.
Pemerintah akan mengumumkan misalnya bahwa Pemerintah akan mentransfer sejumlah uang, misalnya Rp5 juta ke rekening bank setiap penduduk (dalam variannya, dapat dikalibrasi, penduduk mana yang dapat memperoleh uang tersebut). Rekening bank komersial yang menjadi tempat menabung penduduk akan dikredit oleh bank sentral dengan sejumlah uang tersebut atas permintaan Pemerintah. Bank sentral akan mencetak uang untuk memenuhi permintaan Pemerintah tersebut.
Pada saat yang bersamaan, untuk menutup ketimpangan di neraca bank sentral, Pemerintah akan menerbitkan obligasi jangka panjang atau bahkan perpetual bonds dengan tingkat bunga sangat rendah kepada bank sentral. Dengan demikian neraca bank sentral menjadi aman.
Dalam skema ini idealnya bank sentral tidak membayar biaya atas tambahan likuiditas tersebut. Caranya adalah dengan meningkatkan GWM (Giro Wajib Minimum) untuk sejumlah dana yang diperkirakan belum akan dibelanjakan penduduk. Secara substansi kebijakan helicopter money ini bisa disebut sebagai central bank funded fiscal stimulus.
Bagaimana dampaknya terhadap ekonomi? Proponen kebijakan ini menyebutkan bahwa pemberian dana langsung kepada penduduk dan tanpa melalui mekanisme intermediaries perbankan akan lebih efektif khususnya pada saat agregat permintaan turun, inflasi rendah (atau deflasi), dan ekonomi melambat. Dana tersebut akan dibelanjakan oleh penduduk, meningkatkan permintaan akan barang, meningkatkan produksi, meningkatkan inflasi, menyerap tenaga kerja, dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sementara kredibilitas bank sentral terjaga karena neraca bank sentral tetap sehat. Dampak tersebut belum nampak dari kebijakan QE dan tingkat bunga negatif baik di zona Eropa maupun Jepang yang telah diterapkan saat ini.
Mengapa kebijakan ini tidak diterapkan? Hal ini lebih karena faktor politis. Independensi bank sentral yang salah satu aspeknya adalah tidak secara langsung membiayai anggaran Pemerintah menjadi hambatan utama. Proponen independensi bank sentral menyatakan bahwa risiko jangka panjang terhadap ekonomi akibat tidak independennya bank sentral akan jauh lebih besar daripada keuntungan jangka pendek dari kebijakan helicopter money.
Namun sebagian ekonom berpendapat bahwa risiko itu dapat ditekan dengan memastikan bahwa uang yang dibagikan tersebut harus dibelanjakan, sehingga menciptakan pengali ekonomi (economic multiplier) yang memadai untuk menjamin pertumbuhan ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Bank sentral juga harus siap untuk melakukan pengendalian apabila inflasi menjadi naik di atas ekspektasi, misalnya dengan menaikkan tingkat bunga atau meningkatkan GWM.
Bagaimana dampaknya terhadap utang Pemerintah? Memang utang Pemerintah akan naik karena penerbitan obligasi kepada bank sentral. Namun dengan tingkat bunga yang rendah maka beban utang Pemerintah tersebut menjadi lebih kecil. Pemerintah dan bank sentral juga dapat melakukan pengaturan khusus mengenai jadwal jatuh temponya sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan negara.
Sejatinya, program QE dimana bank sentral membeli obligasi Pemerintah di pasar sekunder secara massif membuat biaya utang Pemerintah (yield obligasi pemerintah) menjadi turun. Hal ini secara diam-diam memberikan kesempatan bagi Pemerintah untuk menerapkan kebijakan stimulus fiskal yang longgar dengan berutang lebih banyak.
Demikian, kesimpulannya saat ini sikap tabu atas pendanaan fiskal oleh bank sentral masih cukup kuat, namun demikian hambatan terhadap kebijakan helicopter money semakin mengecil, karena kebijakan moneter yang konvensional (termasuk tingkat bunga negatif yang tadinya tidak konvensional akan menjadi konvensional) belum mampu menyelesaikan masalah di beberapa negara seperti di Eropa dan Jepang. Jika ekonomi tidak juga membaik atau bahkan terjadi tekanan terhadap ekonomi (misalnya terjadi deflasi, penurunan pertumbuhan ekonomi, dll.), maka bukan tidak mungkin akan ada negara yang menerapkan kebijakan helicopter money. (*)
Penulis adalah staf Wakil Ketua DK OJK. Artikel disarikan dari Financial Times 11 Mei 2016.