Jakarta – Badan Anggaran DPR-RI menilai, keberhasilan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akan menjadi landasan dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2021 berdasarkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF). Sehingga RAPBN 2021 akan dapat menjadi stimulus yang lebih produktif, efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan neraca keuangan Pemerintah.
Ketua Badan Anggaran DPR RI MH Said Abdullah mengatakan, kebijakan fiskal tahun 2021 merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sektoral dan fiskal yang diarahkan untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan, pengangguran, mempercepat pembangunan SDM dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat, memperkuat peran dan kontribusi sektor UMKM, membangun industri dan domestic supply chain nasional, membangun ketahanan pangan, serta pemerataaan pembangunan antar wilayah.
Menurutnya, keberhasilan Program PEN pada tahun 2020 ini menjadi kunci penguatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2021. Asumsi pertumbuhan ekonomi yang diajukan pemerintah dalam KEM PPKF 2021 berkisar 4,5-5,5%. “Saya berpandangan asumsi ini cukup optimistis dan bisa di realisasikan, namun bukan tanpa reserve,” ujar Said Abdullah dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Jumat, 19 Juni 2020.
Dia mengungkapkan, ada prasyarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah untuk menuju pencapaian tersebut. Pertama, sektor riil yang terpukul dapat pulih pada rentang waktu 2020. Kedua, gejala menurunnya daya beli masyarakat dengan inflasi hingga semester 1 2020 yang mencapai 2,6% sebagai gejala penurunan daya beli masyarakat dapat dipulihkan pada tahun 2020. Ketiga, perdagangan internasional, terutama kinerja ekspor membaik dengan pertumbuhan lebih dari 1% pada tahun 2020. Keempat impor, terutama impor bahan baku tumbuh positif, dan bisa dipulihkan pada tahun 2020.
“Realisasi inflasi rendah pada sepanjang 2020 kita pahami sebagai menurunnya daya beli masyarakat, target inflasi pada tahun 2021 berkisar 2 – 4% harus bagian dari pencerminan keberhasilan pengendalian inflasi, bukan representasi rendahnya daya beli masyarakat. Saya berpandangan, indikator daya beli naik bila realisasi inflasi pada tahun 2021 berkisar pada 4%an,” ucapnya.
Berdasarkan Undang Undang No 2 tahun 2020 tentang Perppu No 1 tahun 2020, pada APBN 2021 masih diberikan ruang hukum untuk defisit APBN melebih 3%. Skenario pemerintah pada APBN 2021 defisit APBN tahun 2021 berkisar 5,07%. Kelonggaran defisit ini pada tahun 2021 harus mampu dibayar prestasi kerja pemerintah untuk keberhasilan Program PEN, tetapi juga harus mampu meningkatkan rasio pajak. Sebab, kata dia, bila rasio pajak terhadap PDB tidak meningkat sebanding dengan peningkatan rasio utang terhadap PDB.
“Ke depan kita harus membayarnya dengan mengecilnya ruang fiskal akibat pembayaran cicilan utang. Lebih dari itu, menandakan berbagai program stimulus perpajakan tahun ini tidak memberikan kick back berarti bagi penerimaan tahun 2021,” paparnya.
Ia menambahkan, rasio perpajakan pada tahun 2021 harusnya bisa lebih tinggi dari angka yang dipatok oleh pemerintah pada RAPBN 2021 sebesar 8,2 – 8,6% PDB. Di tahun “normal” saja rasio pajak pada kisaran 9-10%. Target rasio perpajakan 8,2-8,6% pada tahun 2021 sangat tidak sebanding dengan keinginan mencapai pertumbuhan ekonomi pada kisaran 4-5%. Idealnya, rasio perpajakan pada kisaran 10% sebagai representasi target pertumbuhan ekonomi pada kisaran 4-5%. (*)