Jakarta–Bencana kebakaran hutan yang melanda Indonesia pada 2015 lalu ternyata merugikan negara hingga Rp221 triliun atau 1,5% dari Pendapatan Bruto (GDP) Indonesia.
Padahal dana cadangan bencana pada 2015 hanya Rp4 triliun, sementara untuk penanganan bencana kebakaran hutan BNPB mengeluarkan dana Rp720 miliar.
Hal tersebut diungkapkan oleh Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Wisnu Widjaja dalam Seminar “Enhancing Resilience In IDB Member Countries-Humanitarian and Development Nexus” yang digelar dalam rangkaian 41st Annual Meeting Of The IDB Group di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu 15 Mei 2016.
Wisnu mengatakan suatu bencana alam pada akhirnya dapat menimbulkan bencana ekonomi pada sebuah negara. “Recovery hutan gambut terbakar 12 ribu tahun kalau dibakar seperti apa, lingkungan rusak, ujung-ujungnya masuk ke economy disaster. Kita Imbau pelaku bisnis, pengusaha jangan diam, lindungi konsumen dan hulu,” kata Wisnu.
Di Indonesia BNPB mengidentifikasi 497 kota rentan bencana dan 65% diantaranya termasuk dalam tingkat kerentanan tinggi, sisanya pada tingkat kerentanan moderat. Selain bencana kebakaran yang dialami Indonesia ia juga menyontohkan bencana tsunami di Jepang yang mengakibatkan kerugian hingga Rp3.000 triliun. Dengan tantangan ke depan yang makin kompleks dan risiko-risiko yang tersu berkembang menurutnya perlu keterlibatan, kerjasama dan terobosan-terobosan dalam mengantisipasi kerentanan-kerentanan yang ada. Pengurangan risiko bencana menurutnya harus dianggap sebagai investasi pembangunan.
“Kalau ini bisa dilakukan bisa mengawal pembangunan agar terus berjalan, kalau enggak bisa dibayangkan kerugian kita untuk kebakaran hutan sekitar Rp 221 T, itu 1,5% GDP indonesia yang hilang karena kebakaran, belum lagi kalau kita hitung mahluk hidup yang langka hilang. Besar sekali nilai dari ekosistem ini. Semua ini harus care dengan itu, enggak bisa kerja sendiri-sendiri,” tambahnya.
Saat ini menurutnya Pemerintah telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah memasukkan rencana risiko bencana bahkan audah amsuk ke Nawa Cita. Hal tersebut menurutnya bagus karena targetnya adalah menurunkan indeks risiko di 136 pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. (*)
Editor: Paulus Yoga