Jakarta – Di tengah lesunya bisnis properti, para pengembang masih saja menemukan hambatan soal perizinan dari pemerintah daerah sehingga membuat harga properti di dalam negeri sulit di jangkau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Alhasil kondisi ini tidak sejalan dengan program pemerintah untuk memenuhi satu juta rumah bagi masyarakat kecil. Tengok saja, kasus suap Meikarta menjadi gambaran bahwa perizinan properti masih sulit.
Hal inipun diakui Anggota Komisi II DPR RI dari Partai Gerindra, Edi Prabowo. Disampaikannya, perizinan birokrasi yang berbelit-belit akan menghambat iklim investasi dan termasuk di industri properti. “Seharusnya dalam mendorong roda perekonomian, seperti menarik investor dari dalam dan luar negeri harus dipermudah perizinan dan bukan sebaliknya dipersulit, “ujarnya ketika dihubungi wartawan.
Dirinya menuturkan, kasus suap Meikarta tidak hanya dilihat dari kesalahan pihak swasta tetapi juga pemerintah daerah yang harus terbuka sehingga tercipta iklim investasi yang kondusif. Namun demikian, dia berpendapat lesunya bisnis properti saat ini tidak semata soal faktor hambatan perizinan birokrasi semata tetapi juga daya beli masyarakat yang menurun.
Sementara F. Rach Suherman, konsultan bisnis properti menuturkan, di era otonomi daerah memiliki ekses disharmonisasi regulasi. Dimana paket kebijakan ekonomi XIII Jokowi yang sejatinya bagus, tetapi terhambat berbagai peraturan daerah (Perda) lama yang belum banyak diubah oleh banyak pemerintah daerah.
“Contoh nyata adalah penurunan PPh 5% jadi 2.5%, sama sekali tidak digubris daerah sehingga BPHTB tetap 5% dan hal ini karena PAD. Kepentingan pusat-daerah membuat dunia usaha terjepit diantara “dua raja”,”ungkapnya.
Selanjutnya, soal praktek suap sendiri yang dilakukan pihak korporasi adalah soal mental. Namun demikian, suap dilakukan swasta atau developer karena ingin membeli waktu disaat terhambat panjangnya dan berbelitnya proes perizinan. Padahal perencanaan bagi pengembang harus lekas jalan karena ada cost of money. Praktek seuap sendiri, menurut F. Rach Suherman, juga karena ada pengusaha yang tidak memenuhi syarat dan kemudian lalu mengambil jalan pintas dan inipun disambut baik oleh pejabat yang kebetulan kepepet ingin lekas kaya.
Kedepan menekan praktek suap di sektor properti dan sektor lainnya, maka model perijinan satu atap dan penyederhanaan meja-meja perizinan seharusnya sudah menjadi tekad pemerintah. Praktek inipun, kata F Rach Suherman, sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dan hasilnya lumayan membaik. Seperti memakai Key Performance Indicator (KPI) yang diatur Menpan&RB bersama Pemda. Dimana ijin A sekian hari kelar, B sekian hari dan sanksi yang tidak mencapai, langsung ganti pejabat baru.
Pengawasan publik, lanjutnya sangat diperlukan dan hal ini bisa dilakukan lewat informasi digital. Hal senada juga disampaikan Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch, kasus suap Meikarta tidak bisa lepas dari berbelitnya perizinan.”Meskipun pemangkasan sudah terjadi, tapi praktek dilapangan masih terjadi sehingga suapun tidak bisa dihindari dan ironisnya saat ini pengawasan belum efektif,”tuturnya.
Menurutnya, untuk penyediaan rumah sederhana seharusnya menjadi domain Pemda. Namun sayangnya saat ini belum semua Pemda aware dan hal ini tidak lepas terkait keterbatasan sumber daya manusia dan juga keterbatasan sosialisasi. (*)