PR berat buat pemerintah di depan mata untuk membangun kepercayaan masyarakat akan kondisi perekonomian ke depan. Sedikit saja salah dalam mengambil keputusan, bukan tidak mungkin kondisi dalam negeri bisa semakin terpuruk. Dwitya Putra
Jakarta–Beberapa pekan belakangan ini investor sempat dibuat tercengang dengan kondisi pasar saham domestik. Pasalnya tak sedikit yang menyangka bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa terjun bebas hingga level 4.100-an.
Kondisi tersebut beriringan dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) yang tembus hingga ke level Rp14.000/USD.
Padahal posisi IHSG pada tiga bulan pertama tahun ini sempat pula mencetak rekor tertingginya beberapa kali hingga di atas level psikologis 5.500. Antusias investor akan pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) jadi pendorongnya.
Namun sayangnya hal tersebut tidak berlangsung lama. Pelambatan ekonomi disusul kinerja emiten yang mulai melambat, rencana kenaikan suku bunga the Fed, serta sentimen dari devaluasi Yuan menjadi faktor-faktor pemicu pelemahan IHSG dan Rupiah.
Bahkan tak sedikit pula analis maupun pengamat mulai pesimis dan bahkan ada yang beranggapan hal ini sebagai salah satu fase awal krisis, seperti tahun 1998 ataupun 2008.
Pertanyaannya sampai kapan hal ini berlangsung? Karena seperti diketahui, kondisi negara-negara maju saat ini belum sepenuhnya pulih. Dikhawatirkan kondisi ini akan berlangsung lama, mengingat tanda-tanda IHSG dan Rupiah mulai bangkit pun tidak ada.
Hal ini bahkan diperjelas oleh pernyataan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro yang sempat mengungkapkan bahwasanya kondisi tahun 2015 bukan lagi menjadi tahun ekonomi global slowdown, tetapi merupakan tahun ekonomi global yang penuh ketidakpastian.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), China dan Eropa saat ini masih dalam kondisi pemulihan dan pada saat bersamaan, ada berapa kebijakan atau sinyal yang bertabrakan yang menimbulkan efek globalisasi dan menyerempet ke berbagai negara berkembang seperti Indonesia.
“Jadi kalau AS sudah pasti, China sudah nyaman dan Euro sudah merasakan dampak dari stimulusnya, maka masih ada harapan 2016 bisa lebih baik dari 2015,” kata Bambang beberapa waktu lalu saat membuka acara Infobank Awards di Jakarta.
Tentu ini menjadi PR berat buat pemerintah untuk membangun kepercayaan masyarakat akan kondisi perekonomian ke depan.
Sedikit saja pemerintah salah dalam mengambil keputusan, bukan tidak mungkin kondisi dalam negeri bisa semakin terpuruk. Melemahnya IHSG dan nilai tukar Rupiah tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat.
Di sisi lain perusahaan-perusahaan domestik tentunya akan terus bertahan dalam kondisi Rupiah yang terus tertekan. Khususnya perusahaan yang mengandalkan bahan baku dari luar atau impor. Jika perusahaan-perusahan tersebut menaikan harga jual barangnya, seiring meningkatnya ongkos produksi, tentu efeknya akan membuat daya beli masyarakat semakin berkurang. (*)
@dwitya_putra14