Jobless Growth

Jobless Growth

Oleh Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D., guru besar ilmu ekonomi pada Sekolah Vokasi UGM dan Rektor Universitas Trilogi (2019-2022)

PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia di kuartal pertama 2025 (year on year/yoy) hanya 4,87 persen. Dalam pidato peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto bicara menggelegar dan menyampaikan komitmennya terhadap kesejahteraan pekerja, pemberantasan korupsi, dan memastikan pemanfaatan kekayaan negara untuk rakyat. Namun, target pertumbuhan ekonomi 8 persen tampaknya makin sulit dicapai bila tidak ada perubahan mendasar kebijakan pemerintah.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Q1-2021 hingga  Q1-2025)

Perekonomian Indonesia pada kuartal (quarter) pertama 2025 (Q1-2025) menunjukkan sinyal perlambatan yang patut dicermati. Secara kuartalan, ekonomi Indonesia melambat sebesar minus 0,98 persen. Tren penurunan ini mengindikasikan adanya tantangan fundamental yang tengah dihadapi oleh motor penggerak ekonomi nasional, terutama dari sisi konsumsi dan investasi.

Meskipun Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif dan meningkat pascapandemi, fenomena jobless growth tetap terjadi. Pertumbuhan ekonomi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas lapangan kerja, terutama di sektor formal. Fakta pertumbuhan terendah menandakan bahwa momentum pemulihan pascapandemi kemungkinan mulai menghilang atau menghadapi tantangan baru yang lebih kompleks.  

Pola Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pola pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan mendasar jika dilihat dari dimensi sektoral, pengeluaran, dan spasial. Bukti-bukti lebih terperinci dapat dibaca dalam buku saya yang berjudul Ekonomika Indonesia: Dinamika Lingkungan Bisnis di Tengah Krisis Global.

Dari dimensi sektoral, meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah berkisar antara 3,5 persen hingga 7,7 persen, industri pengolahan telah menjadi penggerak utama produk domestik bruto (PDB) dengan kontribusi antara 19 persen hingga 28,65 persen terhadap PDB, sementara sektor pertanian hanya menyumbang sekitar 13 persen -15 persen sejak 2000.

Data Q1-2025 menunjukkan struktur ekonomi Indonesia masih didominasi sektor industri manufaktur sebesar 19,3 persen, diikuti oleh sektor perdagangan 13,2 persen, pertanian 12,7 persen, konstruksi 9,8 persen, pertambangan 9 persen, dan transportasi 6 persen. Secara keseluruhan, keenam sektor tersebut mempunyai andil peranan sebesar 70 persen dalam PDB Indonesia.

Dari dimensi pengeluaran, kontribusi masing-masing permintaan agregat terhadap pengeluaran PDB tidak terjadi banyak perubahan: pola pertumbuhan Indonesia masih bercirikan consumption driven growth, pertumbuhan yang didominasi oleh konsumsi masyarakat. Data Q1-2025, konsumsi rumah tangga tetap mendominasi sebesar 54,5 persen terhadap PDB, diikuti investasi 28 persen, pengeluaran pemerintah 5,8 persen, dan ekspor bersih (ekspor dikurangi impor) 2,6 persen.

Ini mencerminkan dominasi dan potret konsumsi rumah tangga Indonesia pascakrisis: tetap membeli mobil/sepeda motor, makan mi instan, tetap merokok untuk menghilangkan stres, asyik chatting dan surfing dengan internet, menonton TV/film sambil minum teh botol.

Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Q1-2025 adalah melemahnya daya beli masyarakat. Hal itu tecermin dari melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya 4,89 persen, lebih rendah dibandingkan dengan Q1-2024 yang sebesar 4,91 persen dan Q4-2024 sebesar 4,98 persen. Perlambatan terus berlangsung meskipun pada Q1-2025 terdapat momentum Ramadan dan perayaan Idulfitri yang secara tradisional seharusnya mendorong lonjakan belanja masyarakat.

Selain itu, indikator indeks keyakinan konsumen (IKK) juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan sepanjang kuartal pertama. Pada Januari 2025, IKK tercatat sebesar 127,2, berlanjut pada Februari 2025 menjadi 126,4, dan turun signifikan pada Maret 2025 ke level 121,1. Menurunnya IKK mencerminkan ekspektasi konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha mengalami penurunan.

Dari dimensi spasial, Pulau Jawa dan Sumatra masih menjadi penyumbang terbesar PDB Indonesia. Sumbangan aktivitas ekonomi di Pulau Jawa dan Sumatra mencapai sekitar 79,5 persen terhadap PDB Indonesia pada Q1-2025. Artinya, kawasan barat Indonesia tetap mendominasi, sedangkan kawasan timur Indonesia hanya menyumbang sekitar 21 persen terhadap ekonomi Indonesia.

Terjadi tren ketimpangan antarprovinsi dan kabupaten/kota yang cenderung meningkat pascaotonomi daerah 2001. Produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita yang tinggi terpusat pada daerah provinsi yang kaya akan sumber daya alamnya serta daerah yang padat penduduk.

Anomali Ketenagakerjaan: PHK Meningkat tetapi Pengangguran Turun

Fenomena jobless growth – pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja yang memadai – terjadi di Indonesia pascapandemi COVID-19. Ekonomi Indonesia angkanya menunjukkan pertumbuhan yang positif, tetapi tantangan dalam menciptakan lapangan kerja tetap muncul.

Kendati pertanian menjadi sektor dengan penyerapan tenaga kerja tertinggi, sektor ini juga mengalami penurunan proporsi pekerja dari 29,36 persen terhadap total pekerja Indonesia pada Q1-2023 menjadi 28,64 persen pada Q1-2024, dan 28,5 persen pada Q1-2025. Sektor penyerap tenaga kerja berikutnya adalah perdagangan (19,3 persen) dan industri manufaktur (13,5 persen). Sektor tertinggi peningkatan tenaga kerja selama 2024-2025 memang perdagangan, pertanian, dan industri, yang masing-masing sekitar 0,98 juta orang, 0,89 juta orang, dan 0,72 juta orang.

Pasar tenaga kerja Indonesia pada awal 2025 menghadirkan sebuah anomali. Di satu sisi, data resmi menunjukkan penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT), namun gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, terutama manufaktur, dilaporkan meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data TPT per Februari 2025 yang justru menunjukkan penurunan tipis menjadi 4,76 persen, dibandingkan dengan Februari 2024 yang sebesar 4,82 persen.

Penurunan TPT ini terjadi seiring dengan kenaikan jumlah angkatan kerja sebesar 3,67 juta orang pada Februari 2025 dan peningkatan jumlah penduduk yang bekerja sebesar 3,59 juta orang pada periode yang sama.  

Uniknya, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sebanyak 24.036 pekerja terkena PHK dalam periode 1 Januari hingga 23 April 2025. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sektor industri pengolahan menjadi kontributor terbesar angka PHK dengan 16.801 kasus. Laporan dari Apindo dan serikat buruh menunjukkan angka yang lebih tinggi, dengan total sekitar 40.000 pekerja terdampak PHK pada dua bulan pertama 2025.

Beberapa kasus PHK massal yang mencuat ke publik antara lain menimpa raksasa tekstil PT Sritex yang merumahkan sekitar 10.665 pekerja akibat pailit, penutupan pabrik Yamaha Music yang berdampak pada 1.100 pekerja, serta PHK di dua pabrik sepatu di Tangerang, yaitu PT Adis Dimension Footwear (1.500 karyawan) dan PT Victory Ching Luh yang dalam proses PHK terhadap 2.000 pekerja.  

Ada apa di balik anomali menurunnya TPT di tengah gelombang PHK? Meskipun TPT secara persentase menurun, jumlah absolut pengangguran pada Februari 2025 sedikit meningkat sekitar 85.264 orang dibandingkan dengan Februari 2024 (dari sekitar 7,20 juta orang menjadi 7,29 juta orang).

Peningkatan kasus PHK di sektor formal, khususnya manufaktur dan tekstil, yang kontras dengan data makro TPT, mengindikasikan beberapa kemungkinan. Pertama, pekerja yang terdampak PHK dari sektor formal kemungkinan tidak langsung menjadi penganggur terbuka, melainkan beralih ke sektor informal yang penyerapannya lebih fleksibel namun sering kali tidak menawarkan perlindungan sosial dan upah yang sepadan. Pekerja yang bekerja di sektor informal meningkat dari 57,95 persen pada Agustus 2024 menjadi 59,4 persen pada Februari 2025.

Kedua, peningkatan jumlah penduduk bekerja kemungkinan lebih banyak diserap oleh sektor-sektor dengan produktivitas lebih rendah atau dalam bentuk pekerjaan paruh waktu (underemployment). Ada 49,3 juta orang atau 33,8 persen dari total pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu, dengan perincian 8 persen tergolong setengah menganggur (bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari atau bersedia menerima pekerjaan tambahan) dan 25,8 persen pekerja paruh waktu (bekerja kurang dari 35 jam per minggu namun tidak mencari pekerjaan lain).

Data BPS menunjukkan lapangan usaha yang mengalami peningkatan serapan tenaga kerja terbesar adalah sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor, yang menyerap tambahan 0,98 juta orang. Sektor ini dikenal memiliki porsi pekerja informal yang cukup besar.  

Berbagai faktor ditengarai menjadi penyebab meningkatnya kasus PHK, antara lain perusahaan yang merugi atau terpaksa tutup akibat menurunnya permintaan pasar baik domestik maupun ekspor, upaya efisiensi agar perusahaan dapat bertahan di tengah tekanan biaya, transformasi bisnis akibat digitalisasi dan automasi, hingga kondisi pailit.

Selain itu, faktor regulasi, seperti kebijakan impor yang kurang melindungi produk lokal, kebijakan tarif dari negara lain, serta meningkatnya upah minimum regional. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan juga turut berkontribusi.  

Kebangkitan Ekonomi Indonesia?

Kinerja ekonomi Indonesia pada Q1-2025 menyajikan gambaran yang kompleks dan penuh tantangan. Perlambatan pertumbuhan ekonomi, tekanan eksternal yang membebani rupiah dan memicu arus modal keluar, pelemahan daya beli masyarakat, serta paradoks di pasar tenaga kerja, semuanya adalah sinyal peringatan yang tidak boleh diabaikan.

Menghadapi situasi ini, urgensi untuk mengambil langkah-langkah strategis yang cepat, tepat sasaran, dan komprehensif menjadi makin mendesak. Kebijakan yang diambil tidak hanya harus mampu meredam dampak negatif jangka pendek, tetapi juga harus meletakkan fondasi yang kuat untuk pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa mendatang.

Dua puluh tujuh tahun pascareformasi ternyata belum banyak membawa perubahan di negeri ini. Pembangunan ekonomi kita sudah terbukti bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang belum berkualitas, terkonsentrasi secara geografis di kawasan barat Indonesia, hanya menguntungkan kelompok kaya di negeri ini.

Relatif masih tingginya angka pengangguran dan pekerja di sektor informal mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pascapandemi belum mampu menyerap tambahan kesempatan kerja baru dan mengurangi kemiskinan secara substansial. Inilah fenomena yang disebut jobless growth dan belum pro-poor growth. Penyebabnya adalah sektor penyerap tenaga kerja dan penyumbang PDB utama mulai menurun pertumbuhan dan pangsanya terhadap PDB, yaitu sektor pertanian dan industri.

Dengan menyimak perkembangan kinerja ekonomi Indonesia selama 27 tahun terakhir, barangkali sudah saatnya “reformasi” perlu dikaji ulang. Apa sudah berada dalam jalur “yang benar”?

Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan tidak hanya policy mix makro, namun juga koordinasi dan sinergi kebijakan fiskal-moneter dengan kebijakan sektoral dan daerah. Saya menyebutnya meta policy mix. Ini karena pola perencanaan dan pembangunan Indonesia bersifat sektoral meski melibatkan 416 kabupaten, 129 kota, serta 38 provinsi. Kebijakan top-down masih berlangsung di tengah era desentralisasi.

Reformasi struktural dianggap sebagai kunci untuk mengatasi persoalan fundamental ekonomi Indonesia. Diversifikasi pasar ekspor dan produk menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional. Peningkatan investasi di sektor berorientasi ekspor, percepatan hilirisasi (industri, pertanian, dan pertambangan), dan penciptaan kepastian kebijakan bagi investor juga menjadi agenda mendesak.

Perlindungan industri domestik secara cerdas, program substitusi impor untuk produk-produk strategis, dan pengembangan ekosistem inovasi berbasis teknologi domestik juga perlu dilakukan. Kebijakan yang secara spesifik mendukung peningkatan daya beli masyarakat, termasuk kelas menengah, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan vokasi menjadi prasyarat. Tidak kalah penting adalah perlindungan bagi pekerja di sektor informal dan perbaikan tata kelola pasar tenaga kerja secara keseluruhan.

Ke depan, agaknya mekanisme perencanaan, anggaran, dan formulasi kebijakan perlu diubah agar tidak terjadi pembangunan yang cenderung sentralistis, sektoral, maupun fanatisme daerah yang berorientasi jangka pendek dan proyek. Perlu adanya sinergi kebijakan sektoral, makro, dan daerah. Inilah pentingnya presiden menjadi “dirigen suatu orkestra” kebijakan makro, sektoral, dan daerah.

Kebangkitan ekonomi Indonesia sebagai bangsa yang besar dan disegani masih membutuhkan jalan yang panjang, berliku, serta banyak lubang. Meski arah jalannya sudah “on the right track”, agaknya perlu pindah ke gigi yang lebih tinggi (shifting into the higher gear) guna mengejar ketertinggalan dari negara lain. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62