Jakarta – Acara Leadership Banking Insights Forum 2024 bertema “Digital Banking 4.0: Advancing Customer-Centricity and Growth in Indonesia’s Banking Economy” yang diadakan oleh perusahaan penyedia layanan platform customer engagement bagi lembaga keuangan, Backbase, bekerja sama dengan Infobank di Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Kamis (18/7) lalu telah memberikan banyak insight kepada industri keuangan di Indonesia.
Acara yang diikuti oleh berbagai pelaku industri keuangan itu diisi oleh narasumber-narasumber berpengalaman di bidangnya, di antaranya ekonom senior sekaligus mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Menteri Keuangan RI Bambang Brodjonegoro, Regional VP Asia Backbase Riddhi Dutta, Managing Director Global Financial Insight IDC Cyrus Daruwala, Senior Solutions Engineering Lead Backbase Hui Ming Lim.
Direktur Technology and Operations BNI Toto Prasetio, Senior Executive Vice President BCA David Formula, IT Director BSI Saladin D. Effendi, Direktur Pengembangan Perbankan Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK Mohamad Miftah, serta Assistant Governor – Head of Payment System Policy Department Bank Indonesia Dicky Kartikoyono.
Pada sesi Breakfast Leadership Banking Insights Forum 2024, Bambang Brodjonegoro menyoroti sektor pertanian RI yang mengalami penurunan kinerja. Kondisi ini miris memang, mengingat Indonesia yang terkenal sebagai salah satu negara agraris.
Ia menerangkan, pertumbuhan industri pertanian yang merosot hingga minus 3,54 persen menjadi hal yang harus diwaspadai. Menurutnya, hal ini akan langsung mengancam inflasi keseluruhan. Jika terus dibiarkan, maka negara akan membutuhkan devisa untuk mencukupi kebutuhan komoditas pangan melalui jalur impor.
“Manufaktur tumbuh 4,13 persen tapi kita berharap lebih. Yang jadi warning adalah agriculture kita di triwulan I/2024 mengalami kontraksi. Itu juga menjelaskan kenapa terjadi inflasi harga pangan yang lumayan tinggi. Apakah karena El Nino atau sebab lain. Tapi intinya ini yang harus diwaspadai karena ini akan langsung mengancam inflasi. Otomatis kita akan butuh devisa karena kita harus impor sebagian komoditas yang menjadi kebutuhan pangan. Termasuk impor beras,” papar Bambang.
Baca juga: Marak Serangan Siber, AFTECH: Perlu Ada Update Keamanan Teknologi di Industri Fintech
Bambang menyebut, kendati inflasi inti domestik berada di rentang 2-3 persen secara tahunan, tapi inflasi komponen volatil food masih terpantau tinggi.
Bahkan inflasi harga pangan hampir menyentuh 10 persen, di saat inflasi inti stabil. Komponen yang paling dominan memengaruhi kenaikan inflasi pangan ialah beras, cabai merah paprika, dan bawang merah.
Melonjaknya harga pangan di tingkat pasar akan memengaruhi daya beli masyarakat. Utamanya mereka yang berada di kelas masyarakat menengah ke bawah, sehingga serapan atas industri konsumsi barang dan jasa menjadi rendah.
“Inflasi harga pangan bergejolak. Ketika inflasi headlinenya 2-3 persen, sedangkan inflasi harga pangannya hampir 10 persen. Dan itu ketika harga pangannya tinggi langsung berpengaruh terhadap daya beli kelompok menengah, expiring, apalagi yang lower class. Tetapi yang lower itu tertolong dengan Bansos. Yang tidak tertolong dengan Bansos yaitu expired middle class dan lower middle income class. Ini yang daya belinya terpengaruh,” jelasnya.
Menurunnya daya beli akan berpotensi menurunkan permintaan kredit konsumsi dan turut mengerek rasio kredit bermasalah (net performing loan/NPL).
Adapun, lanjutnya, tingkat inflasi pada komponen inti secara tahunan memang mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Komoditas penyumbang inflasi inti pada Juni 2024, di antaranya emas perhiasan, gula pasir, dan nasi dengan lauk pauknya.
Di lain sisi, Bambang menegaskan pentingnya akselerasi sektor pariwisata, mengingat sektor ini memiliki potensi besar ketimbang sektor lainnya. Ia katakan, sektor pariwisata bisa menjadi pendongkrak dan menutupi defisit pada beberapa sektor lainnya.
“Yang paling mungkin digenjot di Indonesia dan sudah dilakukan di negara seperti Thailand, Malaysia, dan negara-negara Eropa ialah tourism atau travel services. Sektor tourism kita masih surplus walaupun surplusnya cuma USD2,318 miliar,” sebutnya.
Ia terangkan lebih lanjut, surplus sektor tourism itu adalah hasil dari selisih antara besaran pengeluaran turis asing di Indonesia dengan besaran pengeluaran yang dilakukan turis asal Indonesia di luar negeri. Meskipun mengalami surplus, Bambang katakan, Indonesia tetap perlu berhati-hati karena kunjungan turis asing ke Indonesia belum maksimal, dan turis domestik Indonesia yang daya belinya semakin baik, malah semakin senang travelling ke luar negeri.
“Apalagi kalau bapak ibu punya anak gen Z dan segala macam, mereka lebih senang keluarin uang untuk travelling ke luar negeri. Padahal, itu nantinya akan berdampak ke sektor tourism kita. Ini adalah satu-satunya harapan kita, karena yang lain relatif kecil,” imbuhnya.
Bambang turut menjelaskan jika selama ini defisit terbesar pada neraca perdagangan Indonesia disumbang oleh sektor layanan transportasi, yang mana besaran defisitnya mencapai USD8,719 miliar. Ia ungkapkan, kita seringkali tak sadar saat kita mengekspor batu bara atau CPO ke luar negeri, pihak Indonesia memakai kapal berbendera asing.
Maka dari itu, di waktu yang sama, Indonesia mengekspor komoditas ke luar negeri sambil mengimpor layanan transportasi dari negara lain.
“Nah, ternyata ujung-ujungnya kalau dikombinasikan kita defisit. Karena apa? Industri perkapalan kita lemah sekali. Dan juga barangkali bukan hanya industri perkapalannya, pelabuhan kita tuh belum jadi hub. Tanjung Priok itu hub-nya itu Singapura. Jadi, Tanjung Priok itu tidak benar-benar sebagai tempat untuk membawa komoditas kita dari domestik ke destinasi,” ucapnya.
“Yang terjadi adalah dari Tanjung Priok ke Singapura, dari Singapura baru ke different part of the world,” tegasnya kembali.
Sementara itu, sektor layanan keuangan serta layanan asuransi dan dana pensiun masing-masing mencatatkan defisit sebesar USD1,244 miliar untuk keuangan dan USD1,889 miliar untuk asuransi dan dana pensiun. Bambang mengungkapkan, penyebab sektor keuangan juga menjadi penyumbang defisit adalah industri keuangan Indonesia banyak memakai jasa keuangan dari luar negeri, serta reasuransi yang juga besar nominalnya.
“Karena kita kurang banyak mengembangkan produk sendiri, sekalipun kita butuh foreign direct investment (FDI), akhirnya kita banyak bayar royalti, license, segala macam. Saya cek ke beberapa company tempat saya pernah jadi komisaris, ya mereka akui kita harus bayar (royalti) karena kita pakai produk mereka sekalipun diproduksi di sini,” tegasnya.
Baca juga: Sinergi Intikom, IBM dan Consolsys Sediakan Layanan Teknologi Efisiensi Cabang Perbankan
Sistem yang Terintegrasi
Di lain kesempatan, Riddhi Dutta selaku Regional VP Asia Backbase menjelaskan pentingnya sistem yang efisien dan efektif dalam penerapan maupun pengoperasiannya. Ia katakan, hampir semua lembaga bank yang ia temui mengungkapkan jika mereka melakukan banyak hal, seperti digital lending, digital onboarding, digital self servicing, digital assisstant servicing, semuanya melakukan layanannya secara satu per satu tanpa sistem yang terintegrasi.
“Pertanyaannya adalah apakah ini sudah dilakukan secara benar. Ketika saya bicara dengan banyak bank di seluruh Asia, 80 persen dari mereka melakukan hal ini di mana channel yang berbeda memerlukan sentuhan yang berbeda, journey yang berbeda, segmen yang berbeda, semua dilakukan secara berbeda-beda,” ujar Riddhi.
“Semua channel itu tak dimasukkan ke dalam satu kesatuan siklus perspektif konsumen. Dan inilah perubahan yang kita minta perbankan untuk melakukan, dari yang channel atau product centric menjadi lebih customer centric. Ini bukan lagi soal cabang, website, mobile, atau contact center, tapi tentang pengalaman dan kebutuhan konsumen,” jelasnya.
Oleh karenanya, ia memperkenalkan platform engagement banking yang mana bisa berpusat pada pengalaman konsumen yang bisa berupa apa saja, seperti membuka akun, mengajukan pinjaman, berinvestasi, serta pengalaman lainnya di seluruh siklus perjalanan konsumen dari berbagai segmen yang dioperasikan melalui satu platform yang terintegrasi.
“Dan ini adalah perubahan yang industri perbankan sudah lihat dalam 10 tahun terakhir, dari digital ke omni-channel, lalu ke engagement. Sekarang anda lihat banyak bank bicara soal engagement dan sedikit tentang digital. Saya pikir itu juga adalah definisi dari perjalanan pengalaman konsumen yang terpersonalisasi,” imbuh Riddhi.
Di samping itu, ia turut menekankan pentingnya bagi sebuah institusi perbankan untuk menerapkan inovasi dari bagian depan atau front end, mengingat itu langsung bersentuhan dengan nasabah, ketimbang menerapkan inovasi dari bagian paling belakang dari sebuah service (back end).
“Dan ketika bank memutuskan untuk melakukan transformasi secara menyeluruh seperti itu, return on equity-nya tercatat naik empat kali lipat,” pungkasnya.
Senada dengan Riddhi, Cyrus Daruwala selaku Managing Director Global Financial Insight IDC mengungkapkan pentingnya industri keuangan memiliki sistem yang dapat melakukan segala unit operasi dalam satu kesatuan secara lebih efektif dan cepat.
“Rerata konsumen Indonesia melihat handphone-nya dalam waktu 45 detik. Apakah itu melihat email, browsing sesuatu, melihat pesan teks, atau apapun itu. Oleh karenanya, tantangan perbankan di sini adalah apa yang kita bisa lakukan dalam 45 detik,” bebernya.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Perbankan Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK Mohamad Miftah menambahkan bahwa kebutuhan konsumen harus menjadi orientasi atau customer centric orientation. Menurutnya, customer centric orientation harus menjadi tujuan utama dari segala transformasi digital yang dilakukan.
“Perbankan itu hingga kini masih menjadi penggerak ekonomi Indonesia, sehingga kita harus melakukan sinergi bersama pemerintah untuk digitalisasi di pemerintahan, serta optimalisasi peran perbankan dalam pengembangan financial center,” ucap Miftah.
Di lain sisi, Assistant Governor – Head of Payment System Policy Department Bank Indonesia Dicky Kartikoyono, menegaskan digitalisasi tak bisa dihindarkan, karena itu akan menghubungkan institusi keuangan, khususnya perbankan, dengan sistem BI Fast.
“Karena transaksi ke depan semuanya bisa dikatakan digital, internet, mobile, uang elektronik, e-wallet, itu semuanya hanya bisa ditangkap di settlement. Hampir dikatakan transaksi itu tak akan selesai kalau tak ada settlement-nya. Di settlement ini kita akan dapatkan data,” tegas Dicky. (*) Steven Widjaja