Oleh Babay Parid Wazdi
BAGI banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), keterbatasan modal menjadi hambatan utama yang membuat mereka kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Terlebih untuk pelaku usaha mikro dan kecil yang justru kerap menjadi korban praktik para pemberi pinjaman berbunga super tinggi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan lintah darat.
Jika mengacu pada PP Nomor 7 Tahun 2021, pelaku usaha yang memiliki omzet setiap tahun mencapai Rp500 juta hingga Rp50 miliar, maka pelaku usaha tersebut masuk dalam kategori kelas usaha kecil menengah. Jika omzet usaha berada di bawah Rp500 juta dalam setahun, maka bisnis tersebut masuk dalam skala usaha kelas mikro.
Tidak sulit untuk menemukan pelaku usaha yang memiliki omzet kelas usaha mikro hingga kecil menengah. Mulai dari pedagang pengecer, pelaku usaha kuliner kaki lima atau rumahan, pemilik bengkel rumahan sepeda motor, peternak, petani, hingga kelas UMKM lain kekinian yang padat teknologi. Dari hasil observasi, semua pelaku usaha menyatakan bahwa mereka sangat membutuhkan akses permodalan yang cepat, mudah, dan murah (bunga rendah).
Akan tetapi, sangat disayangkan, ada banyak dari pelaku UMKM yang terjebak dalam praktik lintah darat. Dalam hal ini praktik tersebut mengeksploitasi pelaku UMKM, sehingga pelaku UMKM sulit untuk naik kelas karena terjebak utang yang memiskinkan pelaku UMKM itu sendiri. Ada dua hal besar yang membuat pelaku UMKM terjebak atau terlilit utang yang menyengsarakan.
Pertama, pelaku UMKM kesulitan mengakses permodalan dari lembaga keuangan besar seperti perbankan. Kelengkapan administrasi, proses persetujuan, hingga agunan menjadi masalah mendasar bagi pelaku UMKM untuk berurusan dengan bank. Dan, dari beberapa alasan tersebut, menyediakan agunan menjadi kelemahan bagi pelaku UMKM pada umumnya.
Kedua, pelaku UMKM cenderung bersikap pragmatis saat membutuhkan modal. Sikap tersebut tidak terlepas dari kesempatan bisnis yang bisa diciptakan dalam jangka pendek. Seperti adanya peningkatan orderan, adanya diskon harga yang memberikan kesempatan untuk mendulang keuntungan, atau faktor lainnya yang membuat pelaku usaha dalam posisi butuh dana segera.
Kecepatan proses pembiayaan dan syarat administratif yang mudah menjadi tolok ukur bagi pelaku UMKM dalam mendapatkan modal. Di lain pihak, ketidakmampuan lembaga keuangan besar untuk hadir saat dibutuhkan oleh pelaku UMKM membuat banyak pelaku UMKM terpaksa menggunakan jasa pembiayaan berbunga super tinggi yang kerap diistilahkan dengan rentenir atau lintah darat itu.
Baca juga: Pengembangan UMKM Berbasis Risiko Produksi
Pada dasarnya, ada banyak pedagang di pasar tradisional yang mampu mengakumulasi omzet penjualan dalam rentang Rp1 juta hingga Rp3 juta dalam satu hari perdagangan. Yang kalau ditotalkan, maka omzet pedagang tersebut berada dalam rentang Rp300 juta hingga Rp1 miliar dalam setahun. Tentunya para pedagang tersebut masuk dalam kategori usaha mikro atau kecil menengah.
Semua pedagang tahu dengan benar bagaimana dan ke mana cara mendapatkan modal dengan cepat di saat membutuhkannya. Mereka juga tahu bahwa modal tersebut tentunya memiliki beban bunga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bunga bank. Praktik pinjaman modal berbunga tinggi tersebut sangat familier di kalangan pedagang di pasar tradisional.
Dan, mayoritas pedagang juga pernah berurusan dengan pinjaman berbunga tinggi. Di lapangan dengan mudah ditemukan bagaimana pinjaman modal berbunga tinggi yang kerap digunakan pedagang untuk memenuhi kebutuhan akan uang dalam jangka pandek. Terlebih kemudahan proses pencairan pinjaman juga dibarengi dengan proses verifikasi yang mudah, dan tidak membutuhkan jaminan atau agunan.
Sebagai contoh, untuk pinjaman dengan plafon Rp10 juta, ditawarkan dengan bunga flat 10% dan dicicil dalam 100 hari ke depan. Cicilan dimulai setelah pedagang mendapatkan uang pinjaman. Cicilan bisa harian, bisa juga mingguan. Kalau uang pinjaman Rp10 juta tersebut dikenai bunga 10%, maka total pokok pinjaman ditambah bunga menjadi Rp11 juta.
Angka Rp11 juta tadi dibagi 100 hari, maka didapat cicilan harian sebesar Rp110.000. Cicilan tersebut akan dibayar setiap hari, dan ada petugas yang menjemput cicilan tersebut ke pedagang. Praktik seperti itu jika diakumulasikan dalam setahun, maka pedagang sebenarnya dibebankan bunga sekitar 36%. Tentunya jauh lebih tinggi daripada suku bunga kredit perbankan yang berkisar 10% per tahun. Bahkan, di beberapa pasar bisa kita temukan praktik dengan bunga yang jauh lebih tinggi lagi.
Selain beban bunga yang tinggi, pedagang dirugikan karena kehilangan opportunity gain (potensi keuntungan). Opportunity gain di sini adalah potensi keuntungan lebih yang seharusnya didapatkan oleh pedagang jika pedagang mampu mendapatkan pembiayaan lewat perbankan, dibandingkan dengan penyedia pembiayaan tak berizin dan menetapkan bunga super tinggi.
Opportunity gain muncul karena cicilan yang harus dibayarkan oleh pedagang dilakukan dengan cara harian. Sangat jauh berbeda dengan bank yang menetapkan pembayaran cicilan secara bulanan. Karena cicilan harian, hal itu tentu akan membuat pedagang kesulitan dalam mengakumulasi modal yang seharusnya bisa digunakan untuk meng-generate keuntungan yang baru.
Hitungannya adalah, saat pedagang membayar cicilan sebesar Rp110.000 per hari, maka pedagang pada dasarnya kehilangan potensi modal Rp110.000 per hari yang seharusnya bisa digunakan untuk menambah omzet penjualan dengan menambah barang dagangannya. Jika Rp110.000 per hari cicilan tersebut diakumulasikan dalam 20 hari kerja saja, maka ada modal tambahan Rp2,2 juta yang seharusnya bisa digunakan pedagang sebagai modal usaha.
Jadi, pedagang dirugikan bukan hanya karena beban bunga yang tinggi. Pedagang juga dirugikan dengan kehilangan opportunity gain karena menggunakan pinjaman berbunga tinggi dan skema pembayaran cicilan secara harian. Sangat jauh berbeda seandainya pedagang mampu memanfaatkan pinjaman dari perbankan yang jelas beban bunganya lebih rendah, dan skema pembayaran cicilan secara bulanan.
Tidak hanya para pedagang yang pernah memanfaatkan jasa pinjaman berbunga super tinggi. Semua pelaku UMKM juga mengenal praktik pinjaman tersebut dan mayoritas pernah berhubungan dengan skema pinjaman seperti itu. Praktik tersebut hanya akan membuat pelaku UMKM menjadi pelaku usaha kelas gurem, atau guremisasi pelaku UMKM, seiring dengan praktik permodalan yang sudah mendarah daging di tengah minimnya kemampuan perbankan dalam memberikan akses pinjaman yang cepat, mudah, dan murah.
Praktik pinjaman berbunga super tinggi ditambah dengan skema pembayaran harian hanya akan membuat pelaku UMKM sulit meningkatkan omzet penjualan. Upaya pelaku UMKM untuk naik kelas pun akan terasa lebih sulit. Dan, sebuah keniscayaan jika pelaku UMKM justru kesulitan keluar dari jebakan utang tersebut. Dengan sendirinya akan muncul prinsip “yang penting bisa makan hari ini” di kalangan pelaku UMKM.
Pelaku UMKM harus diarahkan dan digerakkan untuk membangun sebuah iklim usaha yang memberikan keuntungan sekaligus menciptakan kesejahteraan, dan bukan sekadar urusan untung – yang penting cukup buat makan satu hari. Tak perlu menyalahkan para pemberi pinjaman berbunga tinggi, karena pada dasarnya mereka juga berjasa kepada pelaku UMKM.
Namun, praktik permodalan yang sangat membebani pelaku UMKM selama ini harus bisa dihentikan. Pemerintah harus hadir dengan mengeluarkan regulasi hingga produk turunan aturan di tataran teknis yang bisa dieksekusi. Data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2018 menunjukan bahwa daya serap tenaga kerja pelaku UMKM sebesar 97%, dari total daya serap tenaga kerja dunia usaha.
UMKM menyumbang ke produk domestik bruto (PDB) sebanyak 61,1%, dan sisanya sebanyak 38,9% disumbangkan oleh pelaku usaha besar. Dari jumlah total pelaku UMKM, sebanyak 98,69% didominasi oleh pelaku usaha mikro. Namun, disayangkan pelaku usaha mikro hanya menyumbang 37,89% terhadap PDB kita. Jadi, secara presentase angkanya besar, tetapi sumbangan ekonominya relatif sedikit.
Baca juga: Begini Strategi Jitu UMKM Berekspansi
Pelaku UMKM, khususnya pelaku usaha mikro, perlu dinaikkan kelasnya. Untuk menaikkan kelas memang bukan hanya masalah modal yang menjadi tantangannya. Masalah sumber daya manusia (SDM), promosi, hingga digitalisasi juga menjadi tantangan untuk menaikkan kelas pelaku UMKM. Di atas kertas memang harus ada sinergi kebijakan antara pemerintah, perbankan, kementerian, pelaku usaha, dan otoritas keuangan untuk memformulasikan kebijakan yang tepat dalam mendorong UMKM naik kelas.
Salah satu solusi di tahap pelaksanaan, masalah permodalan bisa disiasati dengan mengembalikan fungsi koperasi, yang bisa menjadi mediator antara pemilik modal dan pihak yang membutuhkan modal. Koperasi juga bisa menjadi jembatan yang digunakan untuk menghilangkan kebutuhan atas agunan, karena fungsi koperasi bisa berhadapan secara langsung untuk mengakses pembiayaan perbankan. Untuk selanjutnya disalurkan kepada anggota koperasi pelaku UMKM.
Kedua, memperkuat kelembagaan koperasi dengan membantuk Badan Pengawas Koperasi sebagaimana halnya perbankan memiliki Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Dengan begitu, koperasi menjadi lembaga permodalan yang kuat bagi UMKM agar bisa naik kelas.
Akhir kata, mencintai UMKM itu mulia dan berkah.
Penulis adalah Dirut Bank Sumut dan pemerhati UMKM