Jakarta–Pelonggaran transmisi kebijakan moneter yang dilakukan melalui jalur suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate belum menunjukkan perkembangan yang baik, terutama respon perbankan pada penurunan suku bunga kredit.
Sebagaimana diketahui, Bank Sentral telah melakukan transmisi kebijakan moneternya melaui penurunan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate di sepanjang Januari 2016 sampai dengan Oktober 2016 hingga mencapai 150 basis points (bps) atau 1,5 persen menjadi 4,75 persen.
Transmisi kebijakan moneter yang dilakukan BI belum sepenuhnya direspon oleh perbankan. Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo mengatakan, sampai dengan Januari 2017 suku bunga kredit perbankan baru turun 78 bps (0,78%). Padahal, di Desember 2016 suku bunga kredit sudah turun 79 bps (0,79%).
Sedangkan untuk suku bunga deposito, kata dia, pada Januari 2017 sudah mengalami penurunan sebesar 128 bps (1,28%) atau mengalami penambahan penurunan dari Desember 2016 yang tercatat turun 122 bps (1,22%). Menurutnya, penurunan suku bunga kredit dan deposito masih akan terus berlanjut.
“Kami mencatat bahwa suku bunga kredit belum terlalu turun di Januari 2017, tapi untuk suku bunga deposito sudah turun 128 bps, jadi memang ada tambahan penurunan sebesar 6 bps di Januari,” ujar Agus di Gedung BI, Jakarta, Kamis, 16 Februari 2017.
Transmisi melalui jalur kredit belum optimal, terlihat dari pertumbuhan kredit yang masih terbatas sejalan dengan permintaan yang masih lemah, termasuk untuk kebutuhan investasi dari korporasi. Di mana pertumbuhan kredit Desember 2016 tercatat 7,9 persen, lebih rendah dibanding tahun sebelumnya sebesar 10,5 persen.
“Hal ini lebih disebabkan oleh masih rendahnya permintaan kredit sejalan dengan konsolidasi yang dilakukan oleh korporasi dan masih lambatnya pertumbuhan ekonomi dunia,” ucap Agus.
Selanjutnya, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Desember 2016 tercatat sebesar 9,6 persen dalam setahunan (yoy), atau lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yakni sebesar 7,3 persen (yoy) yang didorong oleh dana repatriasi Tax Amnesty yang tinggi di akhir 2016. (*)
Editor: Paulus Yoga