Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
CRISTIANO RONALDO, pesebak bola kelas dunia, pun tak akan bisa mencetak gol jika main di lapangan becek penuh lumpur. Bukannya mencetak gol, bisa-bisa kakinya malah yang patah karena tergelincir.
Itu kata seorang bankir papan atas yang mengumpamakan kondisi perekonomian sekarang seperti lapangan becek berlumpur. Tidak kondusif untuk main bola. Jadi, sehebat apa pun bankir tidak bisa memaksa memberikan kredit. Kalau itu dilakukan, malah bisa menimbulkan kerusakan pada sendi-sendi bank karena kredit macet.
Dalam kondisi normal – atau lapangan normal – jangankan Ronaldo, sekelas Bambang Pamungkas pun bisa mencetak gol. Jangankan bankir papan atas, bankir siapa saja bisa memberikan kredit dengan mudah. Ekonomi bagus, dan semua melakukan ekspansi usaha. Sekarang kondisinya berbeda. Pertumbuhan ekonomi melorot menjadi minus 2,07%. Seluruh sektor ekonomi kontraksi, kecuali pertanian.
Stimulus ekonomi dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan kucuran dana Rp695,2 triliun, meski mampu menahan penurunan ekonomi lebih dalam, tapi masih tidak “nendang”. Inilah yang sekarang menjadi pembicaraan para bankir; jangan-jangan stimulus ini “salah resep” atau kurang dosis? Intinya, stimulus sebesar Rp695,2 triliun belum mampu menghidupkan permintaan kredit. Sektor riil masih tiarap dan tidak doyan kredit sehingga bankir pun tak memberikan kredit.
Bank-bank sekarang ini bak menderita “prostat”, meski banyak minum tapi susah kencing. Kredit mengalami kontraksi 2,41% dan dana (DPK) tumbuh 11,55%. Itu artinya, bank banjir likuiditas – tapi tak mampu mengucurkan kredit. Ada perbaikan loan to deposit ratio (LDR) yang sangat longgar menjadi normal, di bawah 82%, yang sebelumnya sempat menembus 94%, bahkan secara individu bank mencapai 96%.
Mengapa bankir tidak bisa dipaksa untuk “obral” kredit? Menurut kajian Infobank Institute, ada beberapa alasan penting.
Satu, para bankir secara naluri selalu menjaga likuiditasnya. Ini tidak salah, karena pengalaman sejak krisis 1998/1999 dan 2008. Kedua krisis itu selalu membuat kering likuiditas bank. Jadi, cash is the king menjadi aliran atau mazhab setiap bank untuk berjaga-jaga likuiditas dan menahan kredit.
Dua, permintaan kredit yang rendah akibat sektor ekonomi yang tidak bergerak. Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengonfirmasi bahwa seluruh sektor ekonomi mengalami kontraksi, kecuali pertanian yang bergerak positif. Sektor manufaktur, transportasi, hotel, dan restoran terkena dampak terberat.
Tiga, risiko kredit mengalami peningkatan, meski secara angka non performing loan (NPL) nett relatif rendah (1,19%). Persepsi risiko terhadap dunia usaha meningkat sejalan dengan naiknya loan at risk (LAR) yang juga tinggi. Rasio LAR terhadap kredit perbankan mencapai 25%-30%. Bank-bank kelompok BUKU 3 dan 4 yang berperan dalam naiknya LAR ini.
Empat, penurunan daya beli masyarakat. Banyak pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan, Jakarta yang memegang 18% perekonomian Indonesia saja tingkat penganggurannya mencapai 10%. Sektor konsumsi yang terkait dengan kredit KPR, kredit mobil, dan sepeda motor drop. Data BPS juga menunjukkan terjadi penurunan pendapatan per kapita.
Lima, pengucuran dana stimulus ke sektor koperasi, UMKM, dan korporasi belum mampu meningkatkan daya dorong permintaan kredit dari UMKM dan korporasi. Pengucuran dana lebih banyak untuk meningkatkan kemampuan membayar pinjaman, tidak untuk meningkatkan kapasitas produksi. Jadi, bank-bank menerima pelunasan dari korporasi BUMN – yang berakibat pada penurunan kredit.
Enam, banyak korporasi besar yang melunasi pinjamannya – pelunasannya dipercepat. Angka pelunasan pinjaman yang dipercepat, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebesar Rp61,94 triliun, terdiri atas 116 debitur besar. Sebut saja PLN (Rp36 triliun), Pertamina (Rp28,9 triliun), Bulog (Rp9 triliun), Petrokimia Gresik (Rp6 triliun), dan Astra International (Rp5,4 triliun).
Intinya, dari enam faktor di atas, hal yang paling membuat bankir tidak bisa kencing kredit ialah lapangan dunia usaha yang sedang “berlumpur/becek”, penuh risiko, dan tidak kondusif untuk permintaan kredit. Meskipun, kondisi perbankan saat ini dalam posisi kelebihan likuiditas, modal yang memadai dengan capital adequacy ratio (CAR) di kisaran 22%-23%.
Suku bunga Bank Indonesia (BI) yang sudah rendah ternyata tidak bisa juga mendorong permintaan kredit. Faktor suku bunga rendah (3,75%) belum menjadi daya pikat/pesona permintaan kredit. Bukannya perusahaan minta kredit baru, yang ada justru mereka membayar kredit yang sudah dipakai.
Bahkan, kredit yang sudah menjadi komitmen juga tidak dipakai. Sekitar 60% kredit yang tidak dicairkan (undisbursed) tentu mengurangi pertumbuhan kredit. Kredit yang bagus dilunasi, kredit yang sudah diberikan tidak digunakan untuk ekspansi kredit.
Sikap hati-hati para bankir sekarang ini memang bisa dipahami, dan tidak harus disalahkan karena tidak “kencing kredit”, meski banjir likuiditas dan kuda-kuda modalnya kuat. Sebab, di balik kuda-kuda modal yang kuat (Rp1.403 triliun) ternyata ada “bom waktu”, yaitu posisi LAR yang sudah Rp1.282 triliun. Apalagi, kinerja bank saat ini tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya – tapi penuh lipstik – karena program restrukturisasi kredit.
Sabar saja hingga vaksinasi COVID-19 sudah mencapai herd immunity dan pasti kredit akan terbang kembali. Pesan Omar Abdalla, ”bank not only follow the business, but bank should able to creat the business” lebih relevan jika situasi sudah normal kembali, bukan untuk situasi saat ini tatkala dunia usaha lumpuh karena efek COVID-19. Jika dipaksakan, bank-bank bisa “patah tulang”-nya – bahkan untuk bangkit butuh waktu yang lama.
Jika demikian, maka pemain sekelas Ronaldo atau Mohamed Salah pun tak bisa membuat gol di lapangan “becek penuh lumpur”. Jangan sampai dipaksa bermain. Bisa “patah tulangnya” nanti. Kalau sudah begitu, ketika kondisi sudah normal, mereka pun tidak bisa bermain karena sudah “babak belur”.
Jadi, bank-bank tidak bisa dipaksa untuk “kencing kredit” sembarangan!