Jakarta – Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) telah merebakkan kekhawatiran di tengah pelaku industri dan investor. Perilaku rush terjadi pada banyak nasabah perbankan, sebut saja seperti yang terjadi di First Republic Bank dan Signature Bank of New York, dimana ramai diserbu nasabahnya yang ingin menarik dana dari bank-bank tersebut.
Saham-saham perbankan di Indonesia pun seolah seperti ikut tertarik sentimen negatif dari kolapsnya SVB itu, yang mana dapat dilihat dari amblesnya saham-saham perbankan Tanah Air hari ini. IHSG pun terpantau drop 2% lebih. Melihat sentimen negatif akibat kolapsnya SVB ini, pengamat dan sekaligus mantan pengawas perbankan, Viraguna Bagoes Oka, menilai apa yang menimpa SVB berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya.
Apa yang terjadi pada SVB saat ini lebih diakibatkan oleh tingkat fluktuasi suku bunga. The Fed yang menaikkan suku bunga acuan secara agresif belakangan ini memengaruhi nilai aset perbankan, apalagi untuk jenis bank seperti SVB yang bergerak di segmen pembiayaan perusahaan rintisan yang saat ini juga tengah mengalami masa tech winter.
“Krisis SVB ini bukan disebabkan aset beracun seperti yang terjadi saat krisis 1998 dan 2008, karena lebih dari 50% aset SVB berupa T-Bond (serupa SBN) namun lebih kepada kegagalan fungsi risk management dalam memitigasi resiko fluktuasi suku bunga. Secara teoritis terdapat inverse relation antara harga obligasi dengan suku bunga. Karena The Fed secara agresif menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi, maka terjadi penurunan drastis nilai aset SVB,” terang Oka kepada Asianpost, Selasa, 14 Maret 2023.
Karena bukan disebabkan dari aset beracun seperti yang terjadi pada krisis 1998 dan 2008, maka apa yang menimpa SVB, menurut Oka, tidak berpotensi berdampak luas untuk sistem keuangan secara keseluruhan karena tak ada aset beracun yang disebarkan. Jika krisis 1998 dipicu oleh tumpukan aset beracun (toxic asset) berupa Non Performing Loan (NPL) akibat kenaikan nilai yang drastis atas nilai tukar US$ terhadap mata uang lokal, sementara pada krisis 2008 aset beracunnya adalah portfolio Sub Prime Mortgage Backed Securities (MBS, CDO).
“Selain itu, dari sisi transaksi antar institusi keuangan yang dalam banyak kasus juga dapat menjadi media transmisi krisis, hal itu tidak berpotensi besar untuk terjadi karena pada dasarnya dalam kegiatan bisnisnya, SVB adalah bank yang tidak banyak terkait dengan sistem keuangan namun justru sepenuhnya terkait dengan sektor teknologi,” jelas Oka.
“Apa yang terjadi hari-hari ini di SVB adalah lebih kepada mismatch dalam manajemen asset – liabilities, dimana kewajiban jangka pendek melebihi aset jangka pendek yang tersedia, yang terjadi bersamaan dengan hilangnya kapasitas untuk menarik dana dari luar karena sentimen negatif terhadap bank yang disebabkan penurunan drastis nilai aset dan badai yang sedang mendera perusahaan teknologi yang selama ini menjadi depositor utama SVB,” tambah Oka lagi.
Akibatnya, SVB mengalami keketatan likuiditas dan ketika terjadi kepanikan, depositor berupaya menarik dananya keluar dari bank. Hal ini menjadi landasan utama otoritas untuk menghentikan kegiatan usaha bank dan mengalihkannya ke US Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC).
Lalu, dari sisi solvabilitas, Oka paparkan bahwa SVB masih memiliki potensi besar untuk melanjutkan usahanya karena tidak mengalami negative capital yang terbukti dengan saat kolapsnya bank tidak sedang ‘diserang’ oleh investor yang melakukan transaksi short atas sahamnya seperti yang terjadi dengan Lehman Brothers sebelum saat kejatuhannya.
Situasi yang terjadi dengan SVB ini merupakan akibat langsung dari tekanan yang menerpa sektor teknologi saat ini. Dan di saat bersamaan, kenaikan tingkat suku bunga mengakibatkan berkurangnya secara drastis dukungan dana dari venture capital. Perusahaan teknologi lalu harus berjuang keras menghadapi pelemahan prospek ekonomi dan kenaikan biaya-biaya, sehingga banyak PHK di perusahaan teknologi yang saat itu tidak terbayang sama sekali akan memicu kejatuhan bank seperti yang terjadi saat ini dengan SVB.
“Selanjutnya, FDIC memiliki 2 opsi sebagai solusinya. Pertama, mencari investor yang bersedia mengakuisisi aset & liabilitas bank sehingga bank dapat dihidupkan kembali. Kedua, memulai proses likuidasi dan pembayaran dana depositor. Beberapa nama pernah disebut berminat, mulai dari Elon Musk, Softbank, dan SWF Middle East,” pungkasnya. Steven Widjaja
Jakarta – Bank Indonesia (BI) beserta seluruh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI)… Read More
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More