Jakarta – BPJS Kesehatan diproyeksi masih akan mengami defisit hingga Rp185 miliar ditahun 2020 ini. Hal tersebut terjadi lantaran kebijakan Pemerintah yang sempat mengalami pembatalan kenaikan pada iuran pada awal tahun 2020 oleh Makamah Agung (MA).
“Dengan demikian proyeksi kurang lebih situasinya membaik, walau defisit masih Rp185 miliar,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris melalui video conference saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Kamis 11 Juni 2020.
Fachmi menjelaskan, perhitungan defisit tersebut didasarkan pada dinamika kebijakan mengenai besaran tarif iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri yang berubah tiga kali selama awal tahun 2020.
Meski begitu dirinya optimis angka defisit akan kembali menurun pada tahun-tahun berikutnya apabila kebijakan kenaikan iuran diterapkan. Dirinya juga berkomitmen untuk terus melakukan pembayaran tagihan rumah sakit agar tidak terjadi gagal bayar.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang kembali menyetujui kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri yang mulai berlaku mulai 1 Juli 2020. Hal tersebut tertuang melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 yang merevisi perubahan kedua Perpres 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dengan adanya Perpres yang baru tersebut nantinya tarif baru yang berlaku per 1 Juli 2020 sebagai berikut:
1. Kelas I dengan tarif lama Rp80.000 tetap selama April, Mei, Juni dan naik menjadi Rp150.000 mulai Juli 2020.
2. Kelas II dengan tarif lama Rp51.000 tetap selama April, Mei, Juni dan naik menjadi Rp100.000 mulai Juli 2020.
3. Kelas III dengan tarif lama Rp25.500 tetap pada 2020 dan naik menjadi Rp35.000 pada 2021 dan tahun berikutnya. Pemerintah mensubsidi Rp7.000. (*)
Editor: Rezkiana Np