Jakarta – Untuk mendukung promosi barang ekspor Indonesia, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) berinisiatif melakukan serangkaian program kegiatan untuk meyakinkan investor terhadap prospek ekonomi nasional.
Salah satu upaya yang baru dilakukan diantaranya ialah menggandeng Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di berbagai negara salah satunya Switzerland untuk mengomunikasikan potensi ekonomi Indonesia.
“Pada akhir April lalu‚ kami menggelar positive campaign di Switzerland. Kami menjajaki kerjasama penelitian dengan perguman tinggi setempat, memamerkan produk kerajinan dan memaparkan overview outlook ekonomi Indonesia di hadapan pelaku dunia usaha dan pengambil kebijakan. Secara khusus kami menjelaskan mengenai industri kelapa sawit/CPO vang berkelanjutan untuk menjawab concern masyarakat Eropa terkait komoditas ini,” kata Ketua ISEI Halim Alamsyah di Jakarta, Senin 20 Mei 2019.
Halim menjelaskan, peningkatan kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan Switzerland mempakan salah satu objektif kunjungan ini. Negeri penghasil cokelat ini memiliki pendapatan perkapita US$80.000 per orang. Pemerintah Switzerland juga melirik pasar Indonesia dan Vietnam sebagai sasaran investasinya.
Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland, Muliaman D. Hadad menjelaskan, ada 3 produk yang sangat dibutuhkan oleh Switzeriand, dimana Indonesia berpotensi sebagai supplier antara lain produk berbasis maritim, produk berbasis kayu dan micro Wood, serta produk berbasis herbal seperti minyak sirih, cengkeh dan sebagainya.
Catatan saja, Switzerland merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia dari Eropa, melalui perusahaan Nesle, ABB, Phillips Morris dan lain lain. Dimana total perusahaan Switzerland yang melakukan investasi di Indonesia sebanyak 150 perusahaan melalui Swiss Chamber of Commerce.
Ke depannya, Switzerland juga akan melakukan investasi sebesar Rp 3 trilliun di INKA untuk memproduksi 1000 gerbong kereta dan lokomotif dan akan diproduksi di Banyuwangi‚ Jawa Timur.
Dalam pemaparan mengenai industri kelapa sawit, Prof Bustanul Arifin, Ekonom Senior Indef yang juga menjabat sebagai Ketua Focus Group Pangan dan Pertanian ISEI Pusat, menjelaskan isu negative terkait komoditas ini sudah berlebihan.
Fakta menunjukkan, sebagai penghasil minyak nabati‚ penggunaan lahan kelapa sawit hanya berkisar 6,6% dari total lahan & dunia. Sementara itu, area yang digunakan untuk menanam kedelai mencapai 9 kali lipat dari total lahan kelapa sawit.
“Produktivitas kelapa sawit pun signifikan lebih besar dibandingkan dengan kedelai, sunfower, cotton seed. Hal ini dibuktikan dari total penggunaan lahan kelapa sawit yang hanya sebesar 6,6% mampu mampu produksi 38,7% output” katanya.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia menyumbang 80% dari total produksi kelapa sawit di dunia dengan tren nilai ekspor yang meningkat dari tahun 2013-2018.
Sekitar 39% CPU diekspor ke 135 negara‚ 15% ke Cina, 13% ke India, 11% ke Pakistan, 6% ke Bangladesh, 6% ke Mesir, 6% ke Spanyol dan 4% ke USA. Sementara itu, pasar ekspor PKO terbesar antara lain Cina (32%), USA (19%), Brazil (11%), Belanda (9%), Malaysia (6%), Jepang (4%), Filipina (4%), Rusia (3%) dan sisanya kurang dari 3% dari negara Afrika Selatan‚ Thailand, Mesir, Pakistan, Turkey.
Bustanul menjelaskan, industri kelapa sawit mempunyai prospek sangat cerah mengingat pertumbuhan permintaan dengan tren meningkat dalam jangka panjang dari industri makanan dan energi.
Kelapa sawit dibutuhkan dunia karena produktivitasnya minyak kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan jenis minyak lainnya. “Pengembangan kelapa sawit membutuhkan lahan lebih sedikit dan harganya kompetitif. Kelapa sawit juga mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan,” kata Ilham. (REZ)