Jakarta – Gubernur Bank Indonesia periode 1993-1998 sekaligus Anggota Dewan Pakar Tim Kemenangan Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, Soedradjad Djiwandono menyatakan lebih memilih program makan bergizi gratis ketimbang pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Sebab, menurut Soedradjad, program makan bergizi gratis sudah diperhitungkan dan bahkan dapat segera dilaksanakan. Seperti diketahui, program makan bergizi gratis setidaknya membutuhkan anggaran Rp71 triliun pada tahun depan.
Berbeda halnya dengan pembangunan IKN baru yang belum pasti memakan total anggaran yang akan dikeluarkan.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno menilai pernyataan Soedradjad lebih realistis untuk dilaksanakan dalam jangka pendek. Pasalnya, IKN merupakan proyek jangka panjang yang membutuhkan waktu hingga puluhan tahun.
“Saya membayangkan IKN itu hidup sebagai satu kota, ibu kota negara itu kurang lebih 15-20 tahun lagi. Belajar dari pengalaman negara-negara yang memindahkan ibu kota. Ini kan betul-betul brand new,” kata Hendrawan di Gedung DPR, Jakarta, 3 Juli 2024.
Baca juga: Bank Dunia Beri Warning Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran
Dia menjelaskan bahwa satu wilayah baru yang jumlah penduduk, ekosistem hingga infrastukturnya belum memadai memerlukan waktu yang sangat panjang untuk berkembang.
“Jadi yang dikatakan Pak Soedradjad itu lebih realistis. Makan bergizi kan memang 50 persen kita makannya tidak bergizi. Iya kan? Lihat, jangan jauh-jauh ini keluar. Orang makannya kerupuk,” jelasnya.
Sehingga, Hendrawan menyebutkan, bahwa makan siang bergizi lebih bisa direalisasikan dalam jangka waktu pendek dan merupakan hal yang mendesak.
“Terus bagaimana menghadapi artificial intelligence (AI) kalau makannya tiap hari kerupuk dan tepung. Di Indonesia ini kan hebat. Nasi, lauknya, bakmi, semuanya sama ini, karbohidrat. Variasi karbohidrat menjadi lauk. Jadi memang makanan bergizi itu mendesak lah. Pemain-pemain Eropa tinggi-tinggi. Kita kecil-kecil,” imbuhnya.
Sebelumnya, Ipar Prabowo, Soedradjad juga menyatakan bahwa IKN masih membutuhkan perencanaan dan anggaran yang matang. Infrastukturnya saja belum memadai.
Soedradjad juga menyentil keberadaan air bersih yang masih jadi persoalan di IKN. Minimnya air bersih di daerah itu akan menjadi PR yang membuat biaya pembangunan semakin besar. Akan tetapi ia menampik bahwa bukan berarti dirinya tidak setuju IKN baru dibangun.
“Ibu kota baru kita belum tahu persis biayanya yang akan kita harus mengeluarkan. Dan kebetulan seperti yang sekarang terpilih itu air bersih aja enggak ada, pembiayaannya jelas luar biasa besarnya, itu sebagai ekonom ya yang saya perhatikan itu. Akan tetapi satu kata pun saya tidak pernah mengatakan saya tidak setuju ibu kota baru,” terangnya.
Baca juga: Ekonom: Pemindahan Ibu Kota Jakarta ke IKN Harus Dikaji Matang
Pembahasan mengenai pemindahan Ibu kota bukan masalah baru. Ia bercerita, sejak duduk di kursi kabinet, pembahasan mengenai pemindahan ibu kota dari Jakarta sudah mencuat disebabkan semakin tingginya air laut yang masuk ke daratan wilayah Jakarta.
“Sehingga kalau kita ingin memeroleh air yang bersih, makin lama makin dalam melakukan pengeboran. Dulu sudah ada wacana untuk mendirikan Sentul sebagai pengganti dari Jakarta. Jadi kembali lagi, saya sendiri pernah mendengar dan saya setuju. Saya tidak pernah setuju dengan pemindahan tu. Hanya mestinya dipikirkan secara matang bagaimana pembiayannya sampai seberapa jauh, dan sebagainya,” sambungnya. (*)
Editor: Galih Pratama