Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup positif di level 7.164 atau menguat 1,82 persen dalam seminggu pada akhir perdagangan, Jumat, 3 Januari 2025.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Dimas Krisna Ramadhani, menjelaskan bahwa secara teknikal, IHSG menggunakan indikator EMA21 weekly memiliki peluang untuk menguat hingga ke level resistance di 7.290-7.300.
Jika mampu bertahan di level tersebut, IHSG berpotensi naik ke 7.500, yang sekaligus menandai berakhirnya tren penurunan sejak September 2024.
Baca juga: Awal Pekan, IHSG Dibuka Menguat 0,11 Persen ke Level 7.172
“Namun apabila IHSG hanya mampu menguat ke level 7.290-7.300 dan mengalami pantulan maka IHSG masih melanjutkan tren penurunannya yang terjadi sejak September silam,” ujar Dimas dalam risetnya di Jakarta, Senin, 6 Januari 2024.
Sentimen Utama yang Memengaruhi IHSG Pekan Ini
Lebih lanjut, Dimas menyoroti potensi pasar pada pekan ini, 6-10 Januari 2025, dengan terdapatnya sejumlah sentimen yang wajib diperhatikan para trader. Salah satunya, Sentimen FOMC Minutes.
Pada Kamis minggu ini, The Fed akan mengadakan pertemuan untuk membahas kemungkinan hasil keputusan suku bunga dan akan diumumkan pada 30 Januari mendatang.
“Umumnya ketika outlook terhadap kondisi ekonomi AS dan keputusan suku bunga yang disampaikan pada FOMC Minutes akan berpengaruh terhadap pergerakan market saham baik di AS sendiri maupun global,” imbuhnya.
Baca juga: IHSG Berpotensi Menguat, 4 Saham Berikut Dijagokan Cuan
Kemudian sentimen dari Non-Farm Payrolls Desember, sehari setelah rilis data ketenagakerjaan AS yang memberikan gambaran kondisi ekonomi AS. Berdasarkan konsensusnya, jumlah lapangan pekerjaan di luar pertanian untuk Desember akan mencatatkan penurunan yang cukup signifikan dibanding bulan sebelumnya.
Non-Farm Payrolls Desember diperkirakan akan mencatatkan lapangan pekerjaan sekitar 150 ribu dibandingkan November yang sebesar 227 ribu.
“Apabila data yang keluar pada Jumat nanti sesuai dengan konsensus maka level ini merupakan level kedua terendah dalam 3 bulan terakhir, di mana pada Oktober lalu sempat mencatatkan level terendah seiring dengan force majeure badai Helene dan Milton yang menghantam Florida,” ujar Dimas.
Baca juga: Rupiah Diperkirakan Masih Tertekan di Atas Rp16.000 per Dolar AS
January Effect
Selanjutnya, sentimen berasal dari January Effect sebagai momentum seasonal, umumnya pada Januari ada fenomena yang disebut “January Effect” di pasar modal, di mana kecenderungan harga saham pada dua minggu pertama atau sepanjang Januari akan mengalami kenaikan.
“Namun, jika kita lihat dari data yang ada hingga perdagangan terakhir di Minggu lalu menunjukkan probabilitas terjadinya fenomena musiman ini cenderung kecil,” tambahnya.
Dimas menyebutkan alasannya, dari sisi foreign flow masih mencatatkan outflow yang memberikan “keraguan” terhadap pergerakan IHSG. Selanjutnya, dilihat dari data historical dalam lima tahun terakhir (2020-2024) yang hanya terdapat satu kali kenaikan yang terjadi pada Januari, yaitu pada tahun 2022.
“Artinya, probabilitas IHSG berakhir di zona hijau pada bulan Januari hanya sebesar 20 persen jika kita tarik data kinerja bulanan Januari dalam lima tahun terakhir. Namun bukan tidak mungkin penguatan dapat terjadi di IHSG mulai dari minggu ini,” kata Dimas.
Baca juga: Harga Emas Antam Stagnan, Segini per Gramnya
Adapun hal tersebut dapat terjadi karena siklus pergerakan sebuah saham/indeks, di mana IHSG sudah bergerak konsisten turun sejak empat bulan terakhir yang secara historikal IHSG cenderung berubah tren dari yang sudah berlangsung selama kurang lebih empat bulan.
Ia mencontohkan yang paling dekat terjadi pada Maret-Juni 2024, IHSG konsisten bergerak turun sebelum akhirnya mencetak level tertinggi sepanjang masanya, yang terjadi setelahnya yaitu September 2024. (*)
Editor: Yulian Saputra