Jakarta – Industri pasar modal Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami banyak perubahan, tidak hanya jumlah emiten, melainkan jumlah investor. Hal ini menjadi bukti bahwa perkembangan pasar modal di tanah air sudah semakin cepat.
Sepanjang tahun 2020, jumlah investor di pasar modal Indonesia sendiri, yang terdiri atas investor saham, obligasi, maupun reksadana, mengalami peningkatan sebesar 56 persen mencapai 3,87 juta Single Investor Identification (SID) dengan jumlah investor institusi diatas 30 ribu.
Namun yang menarik saat ini, bagaimana mendorong penguatan peran investor institusi domestik atau lokal dalam rangka Pendalaman Finansial, Instrumen Saham dan Surat Berharga Negara (SBN) di tengah badai pandemi Covid-19.
Seperti diketahui, pandemi Covid-19 sempat membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok ke level terendah yakni 3.937,63 pada 23 Maret 2020. Kondisi tersebut membuat rapor perusahaan atau lembaga investasi “kebakaran”.
Chairman Infobank Institute, Eko B Supriyanto mengatakan, risiko yang ada di pasar saat ini adalah risiko memang benar-benar karena kondisi market. Saham kadang naik, dan ada kalanya turun.
Seperti BPJS TK misalnya. Ketika BPJS TK ada tuduhan unrealized loss menjadi sebuah kejahatan, dugaan korupsi BPJS TK ikut seret IHSG anjlok 2%. Dan ini menjadi peristiwa yang buruk, bukan hanya untuk BPJS TK, tapi juga investor institusional yang lain.
“Namun demikian, saya yakin ketika IHSG jadi 7.000, maka saya yakin di situ ada yang namanya unrealized gain,” kata Eko dalam InfobankTalkNews Media Discussion bertema ‘Peran Investor Institusi Lokal Dalam Rangka Pendalaman Finansial Instrumen Saham & Surat Berharga Negara’ yang digelar secara virtual, Rabu, 10 Maret 2021.
Oleh sebab itu menurutnya keberadaan investor lokal khususnya investor institusi dirasakan penting untuk menjaga stabilitas sektor finansial, khususnya pasar modal.
Investor institusi katanya juga dapat menggairahkan pasar modal Indonesia, tanpa kehadiran investor institusi maka pasar modal indonesia sulit berkembang karena penggerak pasar adalah investor institusi.
“Investor institusional punya peran besar dalam menggerakan pasar modal, dan itu penting buat pendalaman sektor finansial,” ujar Eko
Begitupun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), peran investor institusi juga sangat besar, khusunya dalam membantu pemerintah untuk menutup defisit APBN.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, posisi kepemilikan SBN Rupiah yang dapat diperdagangkan per 1 Maret 2021 untuk Asuransi dan Dapen di SUN mencapai Rp424,82 triliun dan SBSN mencapai Rp146,56 triliun. Sementara reksadana di SUN mencapai Rp108,21 triliun dan di SBSN mencapai Rp56,79 triliun.
Sementara itu, DJPPR Kementerian Keuangan terus berupaya meningkatkan partisipasi investor domestik pada pasar Surat Berharga Negara (SBN). Direktur Surat Utang Negara, DJPPR, Kemenkeu Deni Ridwan mengatakan, setidaknya ada tiga faktor utama dalam pengembangan pasar yakni demand, supply dan infrastruktur.
Tak hanya itu, koordinasi yang erat harus dijalankan bersama antara Kemenkeu, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). “Pada sisi demand terus meningatkan basis investor, akses dan literasi dan untuk produk pengembangan struktur produk,” kata Deni.
Menurut Profesor Keuangan dan Investasi
IPMI International Business School, Roy Sembel, investor institusi bisa berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat, terkait pentingnya investasi jangka panjang. Dengan orientasi investasi jangka panjang di masyarakat, pasar tidak mudah bergejolak, ketika asing menarik dananya secara besar-besaran.
“Untuk Financial Deepening di Pasar Modal khususnya utk instrumental saham dan surat berharga negara, dibutuhkan investor yang stabil (here to stay) ber Investasi jangka panjang dan memiliki dana besar serta berperan untuk Market Education. Investor yang cocok dengan ciri itu adalah investor institusi lokal,” ucap Roy Sembel. (*)
Editor: Rezkiana Np