oleh Agung Galih Satwiko
PASAR keuangan di negara berkembang sejauh ini tersandera dua tema utama yaitu ekspektasi USD yang menguat karena kenaikan tingkat bunga Fed Fund rate yang akan dilakukan bertahap, dan kekhawatiran bahwa PBOC akan terus melakukan devaluasi Yuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya. Kedua tema tersebut berdampak negatif bagi negara berkembang karena berbagai hal antara lain capital outflows yang kembali ke AS, meningkatnya beban utang dalam USD, dan turunnya tingkat kompetitif produk ekspor negara berkembang terhadap China.
MSCI emerging market equity index, suatu indeks yang mengukur perkembangan indeks harga saham di negara berkembang, mencatat bahwa sepanjang tahun 2015 lalu terjadi penurunan indeks harga saham di negara berkembang sebesar 16,96% (IHSG turun 12,1%). Sementara di tahun sebelumnya (2014) indeks harga saham di negara berkembang turun 4,63% (IHSG naik 22,3%). Penurunan indeks harga saham tersebut mencerminkan perilaku risk aversion investor akibat faktor-faktor di atas.
Namun demikian sejak pertengahan bulan Januari 2016 sampai kemarin, MSCI emerging market equity index menunjukkan peningkatan (bullish trend). MSCI index dalam periode tersebut telah naik 14,84%. Dalam periode yang sama IHSG naik lebih dari 9%. Permintaan terhadap aset berisiko seperti saham di negara berkembang meningkat setelah kekhawatiran akan naiknya tingkat bunga Fed Fund rate mulai mereda karena the Fed tampak cenderung berhati-hati dengan rencana kenaikan tingkat bunganya secara bertahap sehingga penguatan USD melandai. Bloomberg dollar index yang terus menunjukkan penguatan sejak pertengahan 2014, mulai menurun atau melemah sejak akhir Januari 2016.
Selain itu permintaan terhadap aset berisiko juga meningkat setelah otoritas China menyatakan bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk melakukan devaluasi Yuan, dan lebih fokus pada membenahi perekonomian domestik. Dalam jangka pendek mata uang Yuan juga relatif semakin stabil, dan tentunya hal ini membantu negara berkembang untuk memperbaiki kinerja ekspor dan ekonominya.
Templeton Emerging Market Groups menyebutkan bahwa saat ini dunia telah melewati titik balik risiko terhadap negara berkembang. Permintaan terhadap produk pasar keuangan di negara berkembang meningkat karena selain faktor eksternal seperti di atas, juga karena valuasi yang relatif murah di negara berkembang. Secara fundamental perekonomian negara berkembang juga tidak seburuk yang diperkirakan. China, India, Malaysia menunjukkan perekonomian yang meskipun melambat namun cukup resilien. Harga komoditas yang mulai naik juga akan membantu negara berkembang pengekspor komoditas.
Namun demikian perlu kehati-hatian dalam hal ini karena dalam jangka menengah mata uang China tetap akan melemah seiring dengan masuknya Yuan dalam currency basket global, dan tingkat bunga Fed Fund rate cepat atau lambat juga akan meningkat seiring membaiknya perekonomian di AS. Selain itu terdapat potensi risiko dari utang dalam valas negara berkembang yang akan jatuh tempo dalam lima tahun ke depan.
Berdasarkan data dari ICBC Standard Bank, terdapat sekitar USD1,6 triliun utang yang harus dilunasi oleh pemerintah dan korporasi di negara berkembang dalam lima tahun mendatang. Utang yang banyak diambil setelah krisis 2008 ini sebagian besar akan jatuh tempo dalam lima tahun ke depan. Sejak 2008 Pemerintah dan korporasi di negara berkembang banyak meminjam dan mengeluarkan obligasi dalam hard currency ditopang oleh banyaknya likuiditas akibat QE, tingkat bunga yang rendah, dan lemahnya mata uang USD. Saat itu investor global juga banyak yang mencari yield yang lebih tinggi yang umumnya disediakan oleh negara berkembang. Sekitar tiga per empat dari USD1,6 triliun utang yang akan jatuh tempo dalam lima tahun ke depan tersebut berasal dari korporasi.
Dengan tingkat bunga USD yang akan meningkat seiring kenaikan Fed Fund rate (dalam jangka menangah), maka peminjam akan menghadapi tantangan baik dari sisi tingkat bunga (semakin mahal untuk melakukan refinancing) dan juga semakin besarnya beban utang yang harus ditanggung jika diukur dalam mata uang lokal (karena USD yang akan menguat).
Dengan demikian, dalam jangka pendek tampaknya pasar keuangan di negara berkembang akan bullish, namun dalam jangka menengah panjang, tanpa ada perubahan struktural fundamental di masing-masing negara berkembang, maka periode bullish tidak akan bertahan lama.
Bagaimana dengan pasar saham di Indonesia? Satu hal yang menarik, per tanggal 14 Maret 2016 dua hari lalu secara teknikal rata-rata bergerak IHSG 50 hari menembus rata-rata bergerak IHSG 200 hari dari bawah. Hal ini sering disebut sebagai fenomena golden cross yaitu fenomena dimulainya periode bullish. Fenomena ini terakhir dialami kurang lebih dua tahun lalu, yaitu tepatnya tanggal 17 Maret 2014 dimana setelah terjadi golden cross saat itu IHSG terus mengalami peningkatan.
Lawan dari golden cross adalah death cross yaitu jika rata-rata bergerak 50 hari menembus rata-rata bergerak 200 hari dari atas, yang dialami IHSG tanggal 22 Juni 2015. Dan dengan terjadinya death cross saat itu, IHSG secara teknikal memasuki periode bearish, hingga tanggal 14 Maret 2016 dua hari lalu, dimana terjadi fenomena golden cross. Dan jika sejarah berulang, maka ke depan pasar saham Indonesia akan menuju tren bullish.
Mencermati kondisi tersebut otoritas dapat mengambil kesempatan dengan memperbaiki infrastruktur pasar modal termasuk mempermudah dan mempercepat proses penerbitan saham dan juga obligasi, sehingga periode bullish tidak short lived. Instrumen pendukung pasar modal seperti Exchange Traded Fund juga seharusnya didorong, sehingga investor memiliki beragam instrumen. Di pasar obligasi instrumen derivatif dapat dikembangkan sehingga investor dapat melakukan hedge terhadap posisinya, dan tidak harus melakukan transaksi outright untuk memperbaiki portofolionya. Dengan mekanisme yang lebih mudah dan cepat, serta dengan tersedianya beragam instrumen dan infrastruktur pasar modal yang baik, maka pelaku pasar modal dapat memutar dana secara lebih optimal dan dapat memanfaatkan momentum positif yang saat ini dialami oleh pasar modal Indonesia (riding the positive momentum). (*)
Penulis adalah staf Wakil Ketua DK OJK