Jakarta – Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) menginisiasi program Jaga Alam Melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Jam Pasir).
Selain fokus pada rehabilitasi lingkungan melalui pencegahan abrasi, restorasi mangrove dan pengelolaan kawasan eduwisata, program Jam Pasir ini juga memiliki tujuan memberdayakan para istri nelayan dan membangun UMKM.
General Manager PHE ONWJ Muzwir Wiratama mengungkapkan, program Jam Pasir adalah bentuk komitmenperusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, terutama para nelayan, yang adalah tetangga wilayah kerja perusahaan.
Menurutnya, dengan memberdayakan UMKM, perusahaan tidak hanya membantu mereka meningkatkan pendapatan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru.
Baca juga : Kisah PHE ONWJ Evakuasi Kapal Nelayan di Pesisir Pantai Utara Jawa
“Melalui program Jam Pasir, kami ingin memberdayakan perempuan untuk lebih mandiri dan memiliki penghasilan sendiri. Kami berharap program ini dapat menginspirasi lebih banyak perempuan untuk berani berwirausaha,” katanya, dikutip Rabu, 23 Oktober 2024.
Diketahui, program satu ini dimulai sejak 2018, di mana para ibu mendapatkan sejumlah pelatihan keterampilan yang langsung dimentori pengusaha muda.
“Dibantu PHE ONWJ, kami belajar meningkatkan kualitas dagangan kami. Bagaimana membuat cita rasanya lebih enak dan kemasan lebih menarik. Kami juga diajari cara menentukan harga jual produk setelah dikurangi biaya produksi,” jelas Iin, yang juga adalah Ketua Kelompok UMKM Pasir Putih Desa Sukajaya.
Ia menjelaskan, produk hasil kreasi yang mereka jual beraneka ragam. Ada kerupuk ikan teri, sate bandeng, ikan bakar, kerupuk rajungan, terasi ikan, sambal cumi, siwang, amplang, pempek rajungan, bakso ikan remang, dendeng ikan japuh, dodol mangrove, basreng rajungan, kerupuk ikan remang, jus mangrove, udang krispi, dan bola-bola susu.
Saat ini, 25 kelompok UMKM telah terbentuk. Hasilnya, para pelaku usaha ini mendapat tambahan pendapatan sekitar Rp 135 juta per tahun.
Bantu Ekonomi Masyarakat
Sebelum program Jam Pasir hadir, kondisi ekonomi masyarakat setempat cukup memprihatinkan. Khususnya, bagi para buruh perempuan pengupas rajungan.
Jika sedang musim, dan rajungan hasil tangkapan nelayan, yang juga suami-suami mereka, sedang melimpah, ibu-ibu ini bisa mengantongi Rp 300 ribu dalam sehari. Namun, lebih sering mereka hanya mendapat Rp 100 ribu setelah seharian bekerja selama 14 sampai 16 jam.
“Sebelumnya, belasan jam kami mengupas rajungan yang baru keluar dari boks pendingin hasil tangkapan suami-suami kami. Kadang tangan sampai kapalan. Pinggang sakit karena duduk berjam-jam. Masuk angin sudah biasa,” kenang Iin Inani, ibu beranak tiga yang sebelumnya seorang buruh harian di sebuah sentra rumahan pengupasan rajungan.
Baca juga : Gelar Upacara HUT RI ke-79 di Laut Jawa, PHE ONWJ Lepas Kapal Minyak Tertua di Dunia
Bagi Iin dan istri-istri nelayan di Dusun Pasir Putih, Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang, profesi nelayan ibarat mempertaruhan nasib kepada alam.
Hasil rajungan tangkapan kapal kecil berawak 3-5 nelayan hanya sekitar 5-10 kilogram saja. Sementara untuk sekali melaut, kapal besar harus punya modal Rp 25 juta sampai Rp 30 juta, untuk belanja makan, minum, alat tangkap, dan solar.
Tidak ada yang menjamin modal itu berbuah untung. Meskipun bisa membawa pulang 1,5 – 2 ton rajungan, kadang hasil ini tidak seberapa, setelah dikurangi modal dan dibagi rata dengan 10 nelayan awak kapal. Itu mengapa di kampung-kampung nelayan menjamur bisnis bank emok (pinjaman keliling dengan bunga tinggi yang dioperasikan atas dasar kepercayaan antarindividu).
Dengan pendapatan yang pas-pasan, istri-istri nelayan rela kerja serabutan demi menopang ekonomi keluarga, termasuk menjadi buruh harian atau meramu hasil laut tangkapan suami menjadi makanan yang dijajakan dari keliling kampung.
Selain menjadi buruh pengupas rajungan, Iin menjual pempek rajungan dan bakso ikan remang. Dari pagi sampai malam, ia berjalan kaki keluar-masuk kampung. Sayang, penghasilannya belum cukup.
Tuai Hasil Positif
Kini, Iin tidak perlu lagi bangun pagi buta untuk berangkat sebagai buruh pengupas rajungan. Ia mengoperasikan usaha kecilnya dari rumah. Sesekali keluar untuk membeli bahan baku, atau mengirim produknya ke pelanggan dan beberapa pusat jajanan.
Setahun belakangan, suami tercintanya berhenti melaut. Ia didiagnosa pembengkakan jantung. Dokter meminta suaminya mengurangi aktivitas fisik. Tidak boleh terlalu capek. Praktis, kini Iin berperan ganda sebagai ibu dan tulang punggung keluarga.
“Dari program bersama PHE ONWJ, saya belajar bahwa perubahan bisa dimulai dari diri sendiri, sekecil apa pun langkahnya. Yang penting, kita tidak menyerah. Saya sangat berterima kasih kepada PHE ONWJ yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk berkembang. Semoga ke depan, usaha kecil kami semakin maju dan bisa memberikan kontribusi yang lebih besar bagi keluarga dan masyarakat,” pungkasnya. (*)