Oleh Paul Sutaryono, Pengamat Perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB), UPDM Jakarta dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI), Unika Indonesia Atma Jaya Jakarta.
PADA 23 September 2025, Anggito Abimanyu, Wakil Menteri Keuangan, terpilih sebagai Ketua Dewan Komisioner (KDK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2025-2030, menggantikan Purbaya Yudhi Sadewa yang diangkat menjadi Menteri Keuangan. Apa itu LPS?
LPS adalah lembaga yang dibentuk secara independen berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2004, yang diperbaharui dengan UU Nomor 7 Tahun 2009. Fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Terdapat beberapa tugas LPS. Satu, merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan. Dua, melaksanakan penjaminan simpanan. Tiga, merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemis. Empat, melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemis.
Selain itu, LPS memiliki wewenang menetapkan dan memungut premi penjaminan, menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
Baca juga: DPR Sahkan Anggito Abimanyu Jadi Ketua DK LPS 2025-2030
Faktor Kunci Keberhasilan
Lantas, apa saja tantangan KDK LPS kini dan di masa mendatang? Apa pula faktor kunci keberhasilan (key success factors) menghadapi dan mengatasi sejumlah tantangan tersebut?
Pertama, harus diakui bahwa Anggito Abimanyu bukan orang baru di sektor keuangan. Ia memiliki beberapa kriteria untuk menjadi KDK LPS, seperti memiliki kompetensi tinggi, pengetahuan dan pengalaman luas tentang keuangan, ekonomi, perbankan, audit dan/atau hukum. Selain itu, Anggito mempunyai profesionalitas tinggi.
Sebelumnya, Anggito disebut-sebut akan menjadi Ketua Badan Penerimaan Negara (BPN), suatu lembaga baru, sebagai salah satu janji kampanye Presiden Prabowo Subianto. Pembentukan BPN sudah muncul dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Lalu, pertanyaannya, apakah itu berarti BPN tidak jadi dibentuk? Padahal, BPN sangat diharapkan menjadi salah satu strategi untuk menggeber rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga dua kali lipat dari posisi saat ini sekitar 12 persen menjadi 23 persen.
Kedua, namun jangan lupa bahwa Anggito juga wajib memiliki kepemimpinan kuat mengingat cakupan tugas yang begitu luas. Apalagi UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) sudah menitahkan mandat baru kepada LPS untuk menjamin polis asuransi.
Mengapa turun mandat baru? UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang efektif 17 Oktober 2014 telah menitahkan adanya program penjaminan polis yang dibentuk paling lama tiga tahun sejak UU itu diundangkan (Pasal 53). Itu berarti paling lama pada 17 Oktober 2017, pemerintah wajib membentuk lembaga program penjaminan polis.
Ternyata lembaga itu belum terbentuk hingga 2023. Karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengambil inisiatif untuk memperluas wewenang LPS guna menjamin polis asuransi.
Mandat baru itu bertujuan final untuk memperkokoh industri perasuransian nasional yang sempat kacau. Seolah perusahaan asuransi tidak mampu lagi melindungi nasabah mereka.
Hal itu muncul setelah mencuat beberapa kasus perasuransian. Padahal, asuransi sudah semestinya menjadi proteksi finansial, proteksi jiwa dan/atau aset, memberikan ketenangan, perlindungan aset dan proteksi pembiayaan atau kredit.
Ketiga, oleh karena itu, LPS sedang mempersiapkan pembentukan Lembaga Penjaminan Polis (LPP) bekerja sama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
LPS dapat belajar dari program penjaminan polis di negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Sebagai perbandingan, selama ini, LPS menjamin simpanan nasabah di bank maksimal Rp2 miliar.
Bolehlah kita belajar dari tiga negara tetangga yang telah lebih dulu melakukan penjaminan polis asuransi. Malaysia, misalnya, telah membentuk Perbadanan Insurans Deposit Malaysia atau PIDM (Malaysia Deposit Insurance Corporation) pada 2005 dengan limit penjaminan 250.000 ringgit Malaysia (setara Rp834,5 juta dengan kurs Rp3.338 per 1 ringgit Malaysia).
Lalu, Singapura dengan Singapore Deposit Insurance Corporation (SDIC) dengan limit penjaminan 75.000 dolar Singapura (setara Rp839,4 juta dengan kurs Rp11.192 per 1 dolar Singapura).
Kemudian, ada Korea Selatan dengan South Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC) yang dibentuk pada 1996 dengan limit penjaminan 20 juta won Korea atau setara Rp227 juta dengan kurs Rp11,35 per 1 won Korea Selatan (Paul Sutaryono, Kompas, 16 Januari 2023).
Keempat, pemerintah pun telah meluncurkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2020 yang memberikan mandat lebih luas kepada LPS untuk menjalankan langkah penanganan masalah stabilitas sistem keuangan. Aturan itu memberi wewenang baru kepada LPS untuk melakukan penempatan dana pada bank dalam pengawasan intensif.
Kelima, tantangan berikutnya adalah terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2023 tentang Besaran Bagian Premi untuk Pendanaan Program Restrukturisasi Perbankan, yang diterbitkan 16 Juni 2023.
Peraturan ini menekankan upaya pencegahan krisis melalui penguatan industri perbankan, baik pada level individual bank maupun level industri perbankan. Penguatan itu bertujuan agar penanganan permasalahan bank diutamakan dengan menggunakan sumber daya bank itu sendiri dan dari industri perbankan.
Aturan tersebut mengatur upaya penanganan krisis sistem keuangan dengan penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP). Salah satu sumber PRP berasal dari kontribusi industri perbankan dalam bentuk premi PRP. Premi PRP itu merupakan bagian dari premi penjaminan yang dikenakan bank oleh LPS. Celakanya, ketika akhirnya premi itu dibebankan kepada nasabah.
Keenam, lebih dari itu, KDK LPS suka tak suka harus meningkatkan kewaspadaan terhadap rencana DPR. Kenapa?
Sejak Maret 2025, DPR disebut tengah membahas revisi UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang ditargetkan akan rampung tahun ini.
Di dalam draf revisi tersebut setidaknya ada penambahan dan pengubahan sejumlah aspek yang cukup krusial mengenai pengendalian Komite Sistem Stabilitas Keuangan (KSSK), pemerintah dan parlemen. Ada penambahan klausul poin yang mengatur jika DPR ini dapat mengevaluasi dan memberhentikan Dewan Komisioner LPS sebelum ditindaklanjuti oleh Presiden.
Itu tertuang dalam Pasal 69, ayat (1). Dalam ayat itu terdapat penambahan poin (h) yang berbunyi bahwa Anggota Dewan Komisioner LPS dapat diberhentikan oleh Presiden berdasarkan ”Hasil evaluasi DPR dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan fungsi pengawasan” (Bloomberg Technoz, 25 September 2025).
Selama ini, LPS bertanggung jawab kepada Presiden. Mengapa tiba-tiba DPR ingin terlalu jauh melakukan intervensi politik terhadap eksekutif? Tampaknya DPR ingin melebarkan sayap kekuasaannya untuk mengendalikan LPS lebih dalam lagi.
Oleh sebab itu, hendaknya sudah ada kajian akademis mengenai perubahan UU tersebut. Selain itu, DPR perlu segera membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders) LPS termasuk masyarakat untuk menyampaikan masukan, saran, dan tanggapan yang bermakna (meaningful) mengenai rencana revisi itu.
Padahal, jauh sebelumnya, DPR telah membentuk Badan Supervisi LPS pada 5 Desember 2023. Apa dasar hukum pembentukan Badan Supervisi LPS? BAB XA, angka 61, Pasal 89A, Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK telah membentuk Badan Supervisi LPS.
Baca juga: Purbaya Pastikan Anggito Abimanyu Mundur dari Wamenkeu Usai Diangkat Jadi Bos LPS
Apa fungsi, tugas, dan wewenang Badan Supervisi LPS? Badan Supervisi LPS berfungsi membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap LPS untuk meningkatkan kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan LPS.
Untuk melaksanakan fungsi pengawasan, Badan Supervisi LPS bertugas membantu DPR dalam hal berikut. Satu, membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan LPS. Dua, melakukan pemantauan untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan LPS. Tiga, menyusun laporan kinerja.
Dalam melaksanakan tugas, Badan Supervisi LPS berwenang untuk (i) meminta penjelasan mengenai hal yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan LPS, (ii) menerima tembusan laporan kinerja kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari LPS, (iii) melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan LPS, (iv) meminta dokumen yang diperlukan dalam melakukan telaahan yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan LPS.
Selain itu, Badan Supervisi LPS berwenang untuk (v) menerima tembusan laporan keuangan tahunan dari LPS, (vi) melakukan telaahan atas anggaran operasional LPS, (vii) menerima laporan masyarakat dan industri mengenai kelembagaan LPS, dan (viii) meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Komisioner LPS atas telahaan dalam rapat bersama dengan Badan Supervisi LPS.
Ketujuh, untuk mampu menghadapi semua tantangan itu, LPS wajib meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) mereka. Hal itu bertujuan agar SDM LPS mampu menangani penjaminan simpanan polis dan bank gagal. SDM pun perlu diperkaya dengan pengetahuan tentang manajemen risiko dan manajemen pemasaran sehingga mampu menjual bank gagal beserta asetnya dengan gesit.
Nah, dengan mengandalkan sejumlah faktor kunci keberhasilan, LPS bakal mampu menghadapi segenap tantangan dengan trengginas!









