Lombok — Rencana PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) untuk melakukan penawaran umum perdana saham (IPO) dinilai bisa menjadi strategi pedang bermata dua. Di satu sisi, Gojek bakal mudah mencari pendanaan, di sisi lain perusahaan rintisan (startup) ini harus siap transparan.
“Dugaan saya, kalau startup itu (Gojek) sekarang IPO, tentu mereka menjadi transparan. Padahal, itu competitive advantage mereka yang ramuan bisnisnya seperti apa akan ditutupi. Karena begitu dia IPO dan menjadi transparan, lalu (konsep bisnis) mereka akan ditiru orang,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hoesen di Lombok, akhir pekan lalu.
Sebelumnya, Gojek berencana melakukan dual listing di bursa saham luar negeri yang selanjutnya diikuti dengan pencatatan saham di PT Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pada dasarnya, jelas Hoesen, konsep aplikasi Gojek tidak terlalu sulit untuk ditiru di era digital ini. “Karena, directory entry-nya tidak terlalu tinggi. Seperti (konsep) peer-to-peer lending, begitu ketahuan, lalu dibuat (ditiru) orang. Gojek atau pun Grab, sebetulnya aplikasinya kan begitu-begitu saja,” tukasnya.
Hal lainnya yang menjadi perhatian adalah kewajiban Gojek untuk memberikan laporan keuangan, sehingga semua pihak bisa melihat dan menilai kinerja keuangannya termasuk para kompetitor. “Kalau saya perhatikan di beberapa negara lain pun, startup seperti ini memang menahan diri untuk IPO. Saya belum mendengar sih ada yang IPO untuk unicorn-unicorn seperti ini,” lanjut Hoesen.
Dengan demikian, tegas Hoesen, sejauh ini masih sulit untuk mendorong Gojek untuk IPO. “Saya tidak berharap juga atau tidak ngotot untuk Gojek masuk pasar modal kita. Karena, (konsep bisnis) mereka pun tidak susah untuk ditiru business model-nya kan sederhana semua, berupa service begitu,” katanya lagi. (*)