Jakarta – Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak banding Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas gugatan terhadap pencabutan izin usaha PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life oleh OJK menimbulkan kejanggalan banyak pihak.
Di mana, dalam putusan PTUN Jakarta bernomor 238/B/2024/PT.TUN.JKT yang dibacakan pada 14 Juni 2024 lalu, majelis hakim yang dipimpin Budhi Hasrul memutus pencabutan izin usaha Kresna Life oleh OJK pada 23 Juni 2023 dibatalkan.
“Hakim ketika membuat keputusan hukum seharusnya tidak hanya sekedar melihat alat bukti formil-nya saja tetapi juga keadilan yang sifatnya materil. Cuma masalahnya di PTUN itu seperti pra peradilan,” kata Ketua Komisi Kejaksaan Prof Pujiyono Suwandi, dalam Talkshow Infobank bertajuk “Hati-Hati Modus Financial Crime di Sektor Keuangan”, Selasa, 13 Agustus 2024.
Ia mengatakan, apa yang diadili di PTUN adalah alat bukti yang sifatnya formil. Di mana, kecermatan administrasi dari pembuat kebijakan harus ketat (strick) betul.
Baca juga : Pakar Hukum Nilai Banyak Kejanggalan di Kasus Kresna Life, Apa Saja?
Menurutnya, apabila belajar dari pra peradilan itu, administrasi tidak lengkap misalnya menangkap orang tidak diberi surat penangkapan, maka status tersangkanya bisa batal di pra peradilan.
“Adapun hal-hal yang berkaitan dengan kasus Kresna Life, hal-hal formil tersebut tidak dipatuhi maka akan menjadi persoalan. Sekalipun kita mempersoalkan ketidakpekaan keputusan hakim tersebut,” jelasnya.
Meski begitu, ia menilai apa yang sudah dilakukan OJK sudah sesuai prosedur. Sekalipun sisi administrasinya bisa perdebatkan dari UU OJK, UU P2SK termasuk POJK terkait sudah menyesuaikan prosedur sampai kemudian mencabut izin usaha Kresna Life sudah ada tahapannya.
Baca juga : Lindungi Pemegang Polis, OJK Tegaskan Akan Maju Terus Lawan Kresna Life di MA
“Hanya kalau kita perbandingkan dengan apa yang menjadi keyakinan hakim, ini kan soal prosedur yang tidak ditaati menurut kaca mata hakim,” bebernya.
Pihaknya menilai, untuk bisa menyelesaikan kasus Kresna Life maka dibutuhkan keberanian, khususnya dari aparat penegak hukum yang diawali dari OJK.
“Sebab keputusan PTUN itu kan sebagian besar bisa disiati. Tinggal bagaimana keberanian dari tim hukum OJK mencari celah,” bebernya.
“Kedua, OJK bisa melarikan ke sektor pidana seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU). TPPU kan diangggap tindak pidana utama. Larikan saja ke TPPU,” ujarnya.
Ketiga, apabila pemerintah atau OJK ingin melalukan intervensi, maka bisa dilarikan ke korupsi sehingga aparat penegak hukum seperti kejaksaan bisa turun langsung, tidak hanya sekedar dalam penuntutan.
“Bagaimana melarikan ke rumus korupsi? Rumus dasarnya adalah jadikan ini kerugian perekonomian negara, jadikan ini kerugian keuangan negara. Nah caranya harus ada campuran uang negara yang kemudian diinvestasikan,” pungkasnya. (*)
Editor : Galih Pratama
Suasana saat konferensi pers saat peluncuran Asuransi Mandiri Masa Depan Sejahtera di Jakarta. Presiden Direktur… Read More
Jakarta - PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Timur (Bank NTT) resmi menandatangani nota… Read More
Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 tercatat sebesar 4,95 persen, sedikit melambat dibandingkan kuartal… Read More
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan biaya pendidikan yang signifikan setiap tahun, dengan… Read More
Jakarta - Koordinator Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI) Agus Riyanto mengapresiasi langkah cepat Presiden Prabowo… Read More
Jakarta - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyatakan pemerintah tengah membahas revisi Peraturan… Read More