Harus diakui memang program restrukturisasi ini bukan dimaksudkan untuk menyelamatkan bank secara individu, melainkan lebih kepada industri, untuk menjaga “value” industri perbankan agar tetap terjaga dengan baik. Jika demikian, dan tidak bisa lagi menolak karena perintah UU, diharapkan besaran premi bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing bank yang berbeda-beda kinerjanya, jadi tidak dapat disamaratakan. Bank berkinerja baik akan memperoleh insentif dari program ini.
Menurut simulasi besaran premi yang sudah dilakukan LPS ialah dengan menetapkan pertama kali target fund yang akan dihimpun selama satu kurun waktu tertentu. Sebagai contoh di negara lain, Jerman: 0,05% x PDB (15 tahun); Swedia: 2,5% x PDB (15 tahun); Jepang: 0,038% x simpanan (20 tahun); Uni Eropa: 1,05% x total simpanan yang dijamin (8 tahun). Sementara itu, IMF: 2% – 4% x PDB (nett).
Premi restrukturisasi ini tentu menjadi beban baru bagi bank. Beban ini sudah pasti akan dikenakan kepada nasabah. Jika demikian, mungkinkah suku bunga perbankan nasional bisa bersaing dengan suku bunga bank dari negara-negara lain di ASEAN? Apakah suku bunga bank di Indonesia bisa bersaing dengan Malaysia atau Thailand karena operational cost yang menjadi struktur suku bunga kredit saja terus membesar.
Ada banyak iuran. Semua itu beban. Jika tidak bisa mengelak, ada beberapa catatan, bagaimana probabilitas terjadinya kegagalan bank dan bagaimana program restrukturisasi ini dijalankan (trigger point). Kondisi-kondisi itu perlu dapat dipertimbangkan sehingga dapat dimasukkan dalam formula penetapan besaran premi. Bagaimana pun, bagi bank, premi ini merupakan tambahan biaya yang harus dapat dikelola dengan baik agar efisiensi tetap terjaga. (*)
(Baca juga: Bank Bakal Kena “Palak” Lagi)
Editor: Paulus Yoga