Ini ‘Oleh-oleh’ yang Dibawa Sri Mulyani dari Pertemuan G20 di Brasil

Ini ‘Oleh-oleh’ yang Dibawa Sri Mulyani dari Pertemuan G20 di Brasil

Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghadiri pertemuan ketiga Menkeu dan Gubernur Bank Sentral negara G20 di Rio De Janeiro, Brasil pada 25-26 Juli 2024.

Pada pertemuan tersebut, dibahas berbagai isu yang menjadi prioritas negara G20 dan perlu mendapatkan perhatian bersama untuk menghadapi tantangan global saat ini.

Adapun isu-isu yang diangkat dalam pertemuan tersebut utamanya yakni ekonomi global, sektor keuangan dan inklusi keuangan, perpajakan internasional, pembiayaan iklim dan pembangunan berkelanjutan, serta arus modal, utang global, dan reformasi Lembaga Keuangan Multilateral (MDBs).

Sri Mulyani menegaskan bahwa ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh ketegangan geopolitik, fluktuasi kebijakan moneter, dan pemilu global telah meningkatkan volatilitas pasar dan memperlambat investasi.

Meskipun demikian, Indonesia menunjukkan capaian dalam ketahanan ekonomi dengan pertumbuhan PDB mencapai 5,1 persen pada kuartal I 2024 dan tingkat inflasi yang stabil sebesar 2,5 persen pada bulan Juni 2024.

Baca juga: Sri Mulyani Leaks Family Office Tax Incentives in Indonesia

Dalam hal ini, diskusi difokuskan juga pada pengaruh risiko ekonomi jangka menengah pada ekonomi global, dampak fluktuasi nilai tukar dan suku bunga terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, serta strategi kebijakan makroekonomi yang diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan.

Sri Mulyani juga menekankan pentingnya koordinasi dan kerja sama ekonomi untuk menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan ketidaksetaraan.

Terkait dengan pembangunan berkelanjutan, Sri Mulyani menyampaikan bahwa Indonesia akan memperkuat kerangka pembiayaan keanekaragaman hayati nasional dan menutup kesenjangan pembiayaan untuk konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

Di samping itu, Indonesia juga menyambut baik diskusi tentang penerapan utang untuk iklim (debt-for-climate swap) guna membantu negara-negara dengan ruang fiskal terbatas untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara.

Saat ini, Indonesia telah berhasil menerapkannya dengan menandatangani pertukaran utang untuk alam senilai USD35 juta pada 3 Juli 2024 lalu untuk melindungi ekosistem terumbu karang Indonesia.

Adapun, bendahara negara ini menekankan pentingnya kerja sama global untuk mengatasi berbagai tantangan ekonomi dan iklim yang semakin kompleks. Diperlukan strategi terintegrasi untuk meningkatkan pembiayaan pembangunan guna mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) tepat waktu dan berdampak.

“Tantangan terbesar kita adalah penggunaan energi dan lahan hutan yang paling mahal dalam pembiayaan. Kita perlu terus membangun proyek-proyek energi, namun dengan emisi karbon yang lebih rendah,” tegas Sri Mulyani dalam keterangan resminya, dikutip, Senin, 29 Juli 2024.

Pada sesi perpajakan internasional, Sri Mulyani menyoroti pentingnya mencapai kesepakatan pada Pilar Satu untuk meningkatkan keadilan pajak bagi negara-negara pasar. Gagalnya pencapaian kesepakatan multilateral dapat menyebabkan tindakan unilateral yang berpotensi mengakibatkan pajak berganda dan merugikan ekonomi global.

“Perlunya kebijakan pajak progresif yang efektif untuk mengurangi ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan, serta pentingnya kerjasama internasional dalam pertukaran informasi dan pembangunan kapasitas untuk mengatasi perencanaan pajak agresif oleh individu-individu berpenghasilan tinggi,” jelas Menkeu.

Baca juga: Dari G20 Brazil, Sri Mulyani Bocorkan Arah Kebijakan Suku Bunga Global

Kemudian, dalam pembahasan pembiayaan pembangunan dan reformasi MDBs, FMCBG mendiskusikan bahwa Reformasi MDBs merupakan keharusan, agar tetap relevan dan efektif dalam mendukung para anggotanya termasuk untuk kebutuhan implementasi Kerangka Kecukupan Modal (Capital Adequacy Frameowerk/CAF) yang lebih besar, baik, dan efektif.

Selain itu, bendahara negara ini juga sangat mendorong dan mendukung koordinasi dan integrasi kebijakan dan proses pengadaan di seluruh MDBs, serta menyederhanakan proses dukungan pendanaan. MDBs juga harus meningkatkan representasi negara-negara berkembang termasuk dalam hal keterwakilan staf yang akan berperan penting untuk implementasi proyek yang lebih efektif dan memberikan wawasan tentang konteks dan budaya lokal. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

News Update

Top News