Jakarta – Bankir Senior Krisna Wijaya mengatakan bahwa tolok ukur perbankan berhasil dalam transformasi digital adalah seberapa banyak nasabah dalam menggunakan aplikasi digital atau Super Apps dari bank tersebut.
“Asal ada (aplikasi digital) tapi belum tentu digunakan, asal mengatakan bahwa saya di market sudah digital. Saya tidak akan sebut banknya,” ujar Krisna dalam acara Growth Summit 2024 yang diselenggarakan Moengage dan Infobank Digital di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.
Krisna menjelaskan, di negara-negara maju hal tersebut dapat dikorelasikan dengan harga saham bank tersebut di pasar modal.
“Saya bisa lihat korelasi bahwa negara-negara maju juga sudah melihat bahwa bagaimana dia menilai harga saham yang ada di pasar modal, yang terkait dengan apakah ide-ide bankir ini original dan men-create. Dan dia bisa lihat dari semua perusahaan publik melakukan itu,” jelasnya.
Baca juga: Bos Bank DKI: Konsistensi jadi Kunci Customer Experience yang Unggul
Di samping itu, Krisna juga menyebut sejumlah alternatif agar industri perbankan dapat menumbuhkan kesadaran digital.
Pertama, Sumber Data Manusia-nya (SDM), yang membutuhkan pengetahuan dan pelatihan, kepedulian dan rasa memiliki perusahaan. Kedua, teknologi informasi harus dipahami bahwa sistem dapat diretas “dirusak” atau dicuri.
“Untuk itu, pastikan risiko kerja sama dengan pihak ketiga berdampak minimal,” ujar Krisna.
Ketiga, kata Krisna terkait dengan organisasi dalam mengelola serta menghindari ketidak jelasan tugas dan tanggung jawab. Penting halnya agar menghindari perubahan struktur organisasi yang terlalu sering.
Keempat, regulasi internal di mana masih adanya peraturan internal yang “tumpang tindih” yang berpeluang saling bertentangan.
Kelima, strategi transformasi, banyak kegagalan transformasi terjadi yang disebabkan strategi trans-formasi yang kurang jelas.
Baca juga: Perkuat Keamanan Siber, OJK Dorong Industri Keuangan Terapkan Smart Collaboration
Keenam, lack of knowledge yaitu inovasi teknologi yang semakin cepat dan persaingan yang ketat diperlukan pelatihan yang berkesinambungan.
Ketujuh, comfort zone syndrome, rutinitas semua jajaran manajemen dan karyawan bank merasa bahwa bisnis model yang dimilikinya sudah memadai atau tidak ingin bertransformasi.
Terakhir, rigid leadership diperlukan untuk menumbuhkembangkan kepemimpinan yang kolaboratif, gesit, fleksibel dan memberdayakan ide serta gagasan para karyawannya secara optimal. (*)
Editor: Galih Pratama
Jakarta - Pemerintah memastikan bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penguatan tipis dalam sepekan terakhir sebesar 0,48… Read More
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (25/11) Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan masih akan melemah. Hal ini disebabkan… Read More
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Rabu, 25 November… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More