Jakarta – Ofer Cassif, seorang anggota parlemen Israel menghebohkan media sosial sepekan terakhir. Hal ini, karena dirinya turut menandatangani petisi mendukung kasus genosida terhadap Israel yang akan disidangkan di Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag.
Cassif menyatakan dukungannya terhadap Afrika Selatan melalui media sosial dalam upaya hukum negara tersebut ketika diajukan ke ICJ, pada Kamis dan Jumat pekan ini.
“Kewajiban konstitusional saya adalah terhadap masyarakat Israel dan seluruh penduduknya,” tulisnya di X pada 7 Januari, pekan lalu, dilansir Al Jazeera, Jumat, 12 Januari 2024.
“Bukan kepada pemerintah yang anggota dan koalisinya menyerukan pembersihan etnis dan bahkan genosida yang sebenarnya. Merekalah yang merugikan negara dan rakyat, merekalah yang menyebabkan Afrika Selatan mengajukan banding ke Den Haag, bukan saya dan teman-teman saya,” tambahnya.
Sebagaimana diketahui, hingga kini korban tewas warga Palestina akibat pemboman Israel di Jalur Gaza selama hampir 100 hari telah mencapai 23.000 orang, termasuk hampir 10.000 anak-anak.
Baca juga: Mahkamah Internasional Gelar Sidang Hari Pertama Kasus Genosida Israel
Lantas siapa sebenarnya Ofer Cassif?
Cassif adalah seorang politisi dari partai Hadash-Ta’al sayap kiri yang mayoritas penduduknya Arab. Ia lahir di Rishon LeZion dekat Tel Aviv pada tahun 1964 dan telah menjadi anggota parlemen Israel selama hampir lima tahun.
Cassif sendiri memiliki gelar doktor dalam bidang filsafat politik dari London School of Economics dan dia adalah seorang akademisi di Universitas Ibrani Yerusalem sebelum masuk parlemen.
Menariknya, kecenderungannya untuk melawan arus masyarakat Israel bukanlah hal baru. Pada akhir tahun 1980-an, warga Israel yang pro-Palestina, yang juga seorang komunis menghabiskan waktu di penjara karena menolak menjadi tentara di wilayah pendudukan.
Pada tahun 2021, dia mengklaim polisi memukulinya saat dia berpartisipasi dalam protes terhadap pemukiman ilegal Yahudi di Yerusalem Timur yang diduduki Israel.
Serangan-serangannya di masa pra-parlemen terhadap negara Israel, misalnya, menyebut Menteri Kehakiman Ayelet Shaked sebagai “sampah neo-Nazi”. Hal ini membuat Komite Pemilihan Umum Pusat tidak mengizinkannya ikut serta dalam pemilu tahun 2019.
Namun keputusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dan ia terpilih pada tahun itu, dengan Hadash-Ta’al menerima sedikit di bawah 4,5 persen suara nasional dan enam kursi di Knesset.
Bandingkan dengan perolehan lebih dari 26 persen suara dan 35 kursi yang diperoleh masing-masing partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu dan Kahol Lavan, aliansi politik oposisi yang dipimpin oleh mantan Menteri Pertahanan Benny Gantz, yang juga anggota kabinet perang Netanyahu.
Yossi Mekelberg, rekan Program Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House, menyebut Cassif sebagai sebuah anomali dalam politik Israel.
“Sebagian besar anggota Israel di Knesset bertugas di partai-partai Zionis – dan tidak demikian halnya dengan Cassif,” kata Mekelberg tentang politisi anti-Zionis tersebut.
Diketahui, Cassif sempat membuat marah beberapa orang karena menolak mengambil sikap mendukung Ukraina dalam perangnya dengan Rusia. Ketika Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy berpidato di Knesset melalui Zoom pada Maret 2022, sebulan setelah invasi Rusia, Cassif menolak hadir.
“Saya tidak memihak dalam perang yang tidak perlu yang merugikan warga sipil yang tidak bersalah, memperkuat kekuasaan dan memperkaya penguasa perang,” kata Cassif dalam tweetnya.
“Saya tidak mendukung kaum nasionalis dan penganiaya komunis di Ukraina, dan saya juga tidak mendukung Putin dan kaum nasionalis yang membenci komunis di Rusia. Tidak untuk perang untuk perdamaian”.
Baca juga: Tewaskan Komandan Militan, Hizbullah Serang Balik Pangkalan Militer Israel
Apa visinya untuk Palestina?
Cassif adalah pendukung setia solusi dua negara untuk Israel dan Palestina. Pada bulan Desember 2023, dalam percakapan yang ditranskripsikan di situs Partai Komunis Israel, dirinya mengatakan bahwa rakyat Palestina sebagai bangsa berhak memiliki negara merdeka sendiri.
“Komprominya adalah dengan membagi tanah di samping negara Israel, negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, yang akan berdiri di wilayah lama yang diduduki Israel pada bulan Juni ’67. Itu berarti Jalur Gaza, Yerusalem Timur, dan Tepi Barat. Tidak ada jalan lain,” katanya.
Selain itu, Ia juga menentang pemukiman Israel di wilayah Palestina dan memprotesnya. Pada bulan Februari 2022, dirinya bergabung dengan pengunjuk rasa di lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur, di mana banyak keluarga diusir dari rumah mereka agar para pemukim dapat dipindahkan. (*)
Editor: Galih Pratama