Jakarta – Sejumlah nama calon presiden (capres) 2024 sudah diumumkan partai politik pengusung. Ada nama Anies Baswedan, Prabowo Subianto, hingga yang teranyar Ganjar Pranowo. Secara tidak langsung, masyarakat kini mulai bisa menentukan pilihannya.
Tak terkecuali dengan para investor asing. Mereka tentunya memiliki pilihan capres yang disukai atau idamkan. Lalu, sosok presiden seperti apa yang disukai investor asing agar mau menanamkan investasinya di Tanah Air?
Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, untuk menarik investor asing untuk berinvestasi ke Tanah Air, membutuhkan figur atau sosok presiden yang memiliki lima kriteria khusus. Apa saja?
“Pertama, pastinya harus memiliki komitmen terhadap keterbukaan investasi dan persaingan yang sehat,” kata Bhima saat dihubungi Infobanknews, Senin, 15 Mei 2023.
Kemudian, lanjut Bhima, kriteria yang kedua adalah capres 2024 harus memiliki integritas. Artinya, mereka harus punya rekam jejak yang baik, yakni tidak pernah tersandung ataupun terlibat dalam tindak pidana korupsi.
“Investor kan butuh stabilitas politik jangka panjang. Jadi integritas faktor yang penting. Penanganan korupsi juga bagian dari integritas. Ini akan menjadi salah satu jaminan agar membuat iklim investasi di Indonesia lebih berdaya saing,”ungkapnya.
Kriteria ketiga terkait dengan isu berkelanjutan. Menurut Bhima, saat ini investasi memang mengarah pada Environmental Social Governance (ESG). Sejurus dengan itu, penting halnya para capres 2024 ini memahami konsep investasi yang berkelanutan.
“Capres harus mempunyai perhatian yang terhadap isu berkebelanjutan. Bukan hanya sekadar investasi di Sumber Daya Alam (SDA) atau investasi yang sifatnya ekstraktif,” jelasnya.
Selanjutnya, menurut Bhima, investor asing akan tertarik jika sebuah negara memiliki rencana pembangunan yang visioner. Di mana proyek yang ditawarkan harus selektif dan memiliki imbal hasil yang menarik bagi investor.
“Jadi kalau ada proyek misalnya, seperti Ibu Kota Negara (IKN) ya berapa return invesments yang ditawarkan ke investor, kalau terlalu kecil investor juga nggak mau. Presiden juga harus menawarkan proyek yang jelas sifatnya. Yang punya imbal hasil yang menarik bagi investor,” ujarnya.
Terakhir, soal komunikasi. Dia melihat selama ini masih ada ketimpangan antara peran presiden dan wakil presiden. Ketimpangan ini harus diatasi ke depannya, terutama dalam berkomunikasi dengan para investor.
“Saat ini kelemahannya. Jokowi seperti bekerja sendiri. Wapresnya tidak bisa mengimbangi komunikasi dengan investor pelaku usaha. Ini agak timpang. Harapannya ke depan punya komunikasi dan kolaborasi dengan pemegang modal,” harapnya.
Butuh Pembenahan
Di sisi lain, Bhima menegaskan, memang ada sejumlah catatan pembenahan yang harus dilakukan presiden mendatang agar investor tak kabur dari Indonesia. Utamanya terkait dengan industri manufaktur yang membutuhkan pemulihan ke depannya.
Menurutnya, pada kuatal I-2023, porsi industri manufaktur terlihat makin menyusut. Hanya ada di kisaran 18% dari produksi domestik bruto.
“Kalau industri manufaktur makin menyusut, investor yang menghendaki Indonesia menjadi basis produksi dan terlebih digadang-gadang hub produksi kendaraan listrik dan baterai, mereka (investor) jadi ragu,” ungkapnya.
Masalah ketimpangan spasial juga bisa membuat investor bisa ‘kabur’. Ketimpangan yang terjadi saat ini adalah mengenai infrastruktur antara Pulau Jawa dengan lainnya. Ini yang membuat investor mayoritas memilih berinvestasi di Pulau Jawa.
“Kenapa banya investor lebih tertarik dengan berinvestasi di Jawa, karena ada gap yang terlalu jauh soal infratruktur di luar Pulau Jawa. Ketimpangan yang melebar, tidak diisukai oleh investor,”pungkas Bhima.(*)