Jakarta – Tahun 2023 merupakan tahun yang baik bagi pertumbuhan perusahaan financial technology (fintech). Meskipun begitu terdapat beberapa catatan penting yang perlu diwaspadai di 2024 mendatang.
Indonesia Fintech Society (IFSoc) menemukan setidaknya 7 catatan yang terjadi pada 2023 yang patut diwaspadai oleh industri fintech di 2024 nanti. Permasalahan tersebut meliputi pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tech winter, pergerakan bursa kripto, penggunaan QRIS mancanegara, keberadaan pinjol, perkembangan artificial intelligence (AI), serta fraud.
Pengesahan UU PDP menjadi langkah kemajuan tata kelola data pribadi di Indonesia. IFSoc menekankan perlunya peraturan turunan yang mengedepankan compliance over punishment. Di 2023, terdapat urgensi dalam percepatan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) PDP waktu transisinya tinggal 1 tahun dan kepastian pembentukan lembaga PDP, serta masih banyaknya kasus kebocoran data.
“Prioritas penerapan PDP perlu menjadi perhatian, khususnya pada perusahaan yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Langkah ini mencerminkan respon kebijakan yang proporsional terhadap jumlah data yang dipegang oleh perusahaan sehingga lebih terukur dengan berbasis risiko,” terang Ketua IFSoc Rudiantara, Jumat, 29 Desember 2023.
Baca juga: 23 Fintech Lending Belum Penuhi Ekuitas Minimum Rp2,5 Miliar
IFSoc juga menyebut tren pendanaan startup Indonesia yang menurun dan perusahaan fintech perlu menyesuaikan diri dengan model bisnis yang mendatangkan keuntungan. Di 2023, pendanaan privat di fintech Indonesia menurun signifikan imbas dari penetrasi layanan keuangan yang masih rendah, membuat investor semakin selektif terhadap industri fintech di Indonesia.
Dengan demikian, besar kemungkinan tech winter, istilah untuk minimnya pendanaan sektor teknologi akan berlanjut di tahun 2024 yang didorong oleh ketegangan geopolitik global, kenaikan suku bunga, dan tahun politik.
“Ketidakpastian tersebut membuat investor menjadi menghindari risiko berinvestasi di perusahaan teknologi. Di tahun 2024, investor akan lebih banyak wait-and-see mengingat kondisi ekonomi dan politik Indonesia,” ungkap Rudiantara.
Sementara dalam kasus bursa kripto, Bappebti dan OJK sedang menyusun guideline selama transisi peralihan pengaturan dan pengawasan perdagangan kripto. IFSoc melihat penyusunan guideline sebagai langkah yang, tepat dan perlu dilakukan dengan hati hati tanpa mengganggu perdagangan yang sedang berjalan.
“Diperlukan adanya peraturan pengawasan dan penindakan atas transaksi mencurigakan, kewajiban pelaporan dan proses KYC. Bursa kripto juga perlu menaungi perlindungan investor melalui transparansi informasi asat serta informasi peluang dan risiko Investasi di aset kripto,” paparnya.
Yang keempat, lanjut Rudiantara, adalah pemakaian QRIS di mancanegara. IFSoc mencatat QRIS momentum positif perluasan QRIS antar negara telah menjangkau Malaysia, Thailand, dan Singapura. Namun, belum adanya optimalisasi awareness yang mudah dimengerti oleh wisman dan placement yang perlu diperkuat.
“Perkembangan ORIS antarnegara perlu didorong ke negara dengan jumlah wisman terbanyak ke Indonesia Ekspansi ke negara negara strategis bisa menjadi kunci bagi pertumbuhan industri pariwisata khususnya UMKM, dengan memberikan dampak positif pada perekonomian lokal dan memperkuat daya tarik destinasi Indonesia di mata wisman,” lanjutnya.
Baca juga: Indonesia Punya Peluang Besar Kembangkan Sistem Pembayaran Fintech
Selain itu, IFSoc mencatat perlu adanya peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap layanan pinjol, yang disebut pinjaman daring (pindar) dengan peningkatan ketahanan dan Inklusivitas sektor pindar.
“Di 2023, banyak upaya perbaikan kepercayaan masyarakat yang dilakukan, seperti pemberantasan pindar ilegal dan kemunculan Roadmap 2023-2028 yang menjadi harapan baru sektor pindar,” tutur IFSoc.
Sinergi antara OJK dan industri perlu dilakukan dengan memberikan literasi kepada masyarakat tentang manfaat pindar sebagai salah satu kontributor pemerataan akses keuangan, khususnya ke luar Jawa. Perlu adanya upaya memposisikan pindar sebagai penyedia pembiayaan alternatif bagi unbanked/underbanked karena jenis pembiayaannya yang tidak menggunakan agunan.
Catatan yang IFSoc garis bawahi berikutnya adalah prioritas utama dalam pengembangan Al di sektor fintech. Teknologi AI harus digunakan dalam mengoptimalkan layanan keuangan untuk masyarakat.
“Implementasi Al harus difokuskan pada peningkatan efektivitas dan efisiensi bisnis, contohnya dalam hal credit scoring dan e-KYC. Selain itu peran Al harus diarahkan dengan tegas untuk mencegah kecurangan dan pencucian uang dalam sistem keuangan sehingga meminimalisir potensi penyalahgunaan Al di fintech,” jelasnya.
Terakhir, masih terdapat besarnya gap antara inklusi dan literasi keuangan, sehingga banyaknya kasus investasi legal. Upaya penanganan fraud masih berlanjut di 2023, dimana semakin maraknya kasus kejahatan keuangan, seperti penipuan melalui chat berkedok undangan atau pengiriman barang. Ini memicu pentingnya peningkatan edukasi tentang fraud melalui kampanye nasional. (*) Mohammad Adrianto Sukarso