Ini 4 Strategi BRI Insurance Meningkatkan Literasi dan Inklusi

Ini 4 Strategi BRI Insurance Meningkatkan Literasi dan Inklusi

Jakarta – Literasi asuransi di 2019 masih sangat rendah bahkan dari angka yang hanya 19,4% kontribusi terbesar masih dari asuransi jiwa, bukan asuransi umum, yang menimbulkan perbedaan mispersepsi perbedaan antara asuransi jiwa dan asuransi umum.

Ada kecendrungan bahwa literasi dan inklusi keuangan di provinsi-provinsi dengan kota kecil lebih rendah dibanding provinsi dengan kota besar, pasalnya aksebilitas teknologi yang terbatas jadi salah satu penyebab literasi keuangan di kota kecil lebih rendah.

Melihat hal itu, Direktur Utama PT BRI Asuransi Indonesia atau BRI Insurance (BRINS), Fankar Umran mengatakan, perlu cara yang berbeda saat ini untuk meningkatkan literasi dan inklusi. Pasalnya lanjut Fankar tidak bisa asuransi melakukan cara-cara konvensional seperti dulu. Perlu adanya sebuah literasi asuransi secara digital agar lebih efektif.

“Karena tidak mudah memberikan edukasi ke masyarakat dengan tingkat pendidikannya di level tertentu. Selain itu Indonesia memiliki demografis yang beragam, menjadi hal yang menentukan bagaimana kita harus melakukan literasi. Disisi lain, dengan geografis luas di Indonesia, kita butuh infrastruktur yang memadai untuk memenuhi tantangan ini,” jelas Fankar.

Lebih jauh ujar Fankar ada beberapa hal mengapa literasi asuransi secara digital bisa lebih efektif.

Pertama daya jangkaunya luas dan masih dapat menjangkau berbagai segmentasi masyarakat di berbagai lokasi.

Kedua, tanpa tatap muka. Literasi dapat tetap berlangsung walaupun di era digital. Selain itu accessible, atau mudah diakses dan fleksible. Keempat efisiensi, cost dan time sfisiensi, kelima millennials friendly, karema 85% transaksi digital saat ini di dominasi oleh generasi milenial, terakhir social media usage, dimana 59% pipulasi Indonesia aktif menggunakan sosial media.

“Itulah mengapa literasi digital lebih efektif. Namun tantangan literasi asuransi secara digital ada generational gap dan keterbatasan infrastruktur digital di rural area merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam melakuian literasi secara digital. Selain itu Isu seperti Tech-Unsavyness pada generasi yang lebih tua dan masyarakat yang ada di pedesaan masih menjadi masalah utama dalam literasi melalui digital,” jelasnya.

Oleh sebab itu ada 4 strategi meningkatkan Literasi dan inklusi yang dilakukan pihaknya.

Pertama pemberdayaan, dimana asuransi memberdayakan komunitas, koperasi, asosiasi atau industri lain sebagai agen literasi.

Kedua produk pengembangan produk untuk inklusivitas yang sesuai dengan market.

“Kita Asuransi kalau ingin survive maka produk itu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga apa yang dicari oleh masyarakat ada disana,” jelasnya.

Ketiga trendsetting, menciptakan tren yang milenial friendly sebagai social currency.

Keempat utilisasi, saluran distribusi untuk meliterasi masyarakat.

“Kita menggunakan agen bank dalam bentuk digital, kemudian agen bank ini melakukan literasi ke masyarakat dalam bentuk konvesional. Sehingga semua tantangan dan masyarakat yang tidak masuk digital savvy bisa dijangkau dengan model ini. Kita punya contoh aplikasi BRINS Agent, yakni tools untuk memasarkan dan mengedukasi produk asuransi milik BRINS yang digunakan oleh agen bank laku pandai yang jumlahnya lebih dari 1 juta agen tersebar di seluruh wilayah Indonesia. BRINS akan menjangkau agen laku pandai secara digital dan agen laku pandai akan menjangkau masyarakat secara konvensional,” tutupnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News