Jakarta – Inflasi kesehatan atau inflasi medis kini tengah menjadi sorotan sejumlah pihak. Meningkatnya biaya layanan kesehatan akibat sejumlah faktor itu tentunya semakin mempersulit masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan.
Sebagaimana dikutip dari data Mercer Marsh Benefits 2024, diperkirakan inflasi medis pada 2024 di kawasan Asia akan mencapai 11,4 persen. Sedangkan di kawasan Timur Tengah dan Afrika sebesar 14,4 persen. Tingginya inflasi medis ini sontak memicu lonjakan biaya rumah sakit, khususnya di Indonesia sebesar 10 sampai 14 persen per tahunnya.
Angka inflasi medis RI yang mencapai belasan persen itu melebihi tingkat inflasi nasional pada umumnya yang rata-rata berada di kisaran 3 persen.
Baca juga: Pelajaran dari Krisis Inflasi Hingga Krisis Keuangan Global
Menanggapi hal tersebut, Chief Financial Officer PT Bundamedik, Cuncun Wijaya, membeberkan strategi yang tengah dilakukan pihaknya untuk menekan inflasi medis yang ada. Cuncun mengatakan, pihaknya menerapkan konsep clinical pathway (guideline) di antara pihak pasien dan asuransi untuk menekan tingkat inflasi tersebut.
“Jadi sakit usus buntu misalnya, itu jenis penyembuhannya, obatnya apa, itu distandarisasi. Jadi, antara kita dan asuransi sama-sama paham,” jelasnya saat ditemui di Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2024.
Ia menjelaskan, sebelum diberlakukannya clinical pathway, terdapat perbedaan persepsi di antara pihak asuransi dengan rumah sakit dikarenakan beragamnya jenis penyakit, metode pengobatan, dan obat yang ada.
Baca juga: Bundamedik Cetak Laba Bersih Naik 199 Persen di Semester I 2024, Begini Strateginya
Melalui clinical pathway, pihaknya telah menstandarisasi pokok-pokok metode pengobatan, beserta biaya yang dikenakan untuk menekan inflasi medis.
“Ini lagi berjalan, kita berharap tahun depan bisa normal kembali (biaya medis),” pungkasnya. (*) Steven Widjaja