Jakarta – Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim K Rohman mengungkapkan, fenomena inflasi kesehatan yang lebih tinggi ketimbang inflasi umum di Indonesia. Di mana, angka inflasi kesehatan tercatat berada di atas 12 persen, sementara inflasi umum hanya 5,51 persen.
Ia mengatakan, fenomena satu ini turut memberikan dampak pada kenaikan klaim asuransi kesehatan yang berisiko membebani industri asuransi di Indonesia.
“Dampaknya dapat mendorong kenaikan klaim asuransi kesehatan sehingga berpotensi membebani industri asuransi jika tidak diimbangi dengan pengelolaan risiko yang baik,” katanya, di Jakarta, Selasa, 15 Oktober 2024.
Baca juga : Di Tengah Tingginya Inflasi Kesehatan, Generali Indonesia Bayar Klaim Nasabah Rp4,5 Miliar
Berdasarkan studi yang dilakukan pihaknya, ditemukan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia melakukan 1-2 kunjungan rumah sakit per bulan, dengan lama rawat inap 4-5 hari per tahun.
“Setiap tambahan kunjungan meningkatkan pengeluaran sebesar Rp695.903, dan setiap tambahan hari rawat inap menambah biaya sebesar Rp810.301,” jelasnya.
Lebih lanjut, dampak inflasi kesehatan sendiri berbeda-beda di setiap wilayah. Biaya pengeluaran kesehatan terbesar berada di Pulau Kalimantan, diikuti oleh Sumatera, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Baca juga : Inflasi Medis Diproyeksi Tembus 13 Persen, Ini yang Perlu Dilakukan Industri Asuransi
Sebaliknya, Pulau Jawa, Sulawesi, dan Papua mengalami deflasi pengeluaran kesehatan pada 2023 dibandingkan 2022.
Ia berharap, hasil dari studi ini bisa membantu industri asuransi khususnya asuransi kesehatan dengan mengembangkan strategi yang mendukung pengendalian biaya kesehatan.
“Pelaku industri asuransi kesehatan harus meninjau kembali alokasi pengeluaran kesehatan publik di wilayah-wilayah dengan inflasi kesehatan tertinggi,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama