Industri Fintech Optimis Bisa Jaga Kepercayaan Konsumen

Industri Fintech Optimis Bisa Jaga Kepercayaan Konsumen

Jakarta – Industri financial technology (fintech) tetap optimistis menyambut tahun 2020, kendati kondisi perekonomian global masih bergejolak. Dengan semakin banyaknya pelaku usaha fintech, utamanya terkait pinjaman online (pinjol), diharapkan regulator juga dapat menjalankan fungsinya secara baik agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga.

“Kita tetap optimis (masuk tahun 2020). Harapannya industri fintech tetap sehat Dan dikawal oleh regulator sehingga bisa lebih bersemangat bagi masyarakat, khususnya UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah,” tutur Branch Manager Danamas, Irma Darmastuti dalam sesi diskusi TechXchange yang dihelat Finmas di Jakarta, Jumat (13/12).

Dia menambahkan, pada tahun ini Danamas telah menyalurkan pembiayaan hingga Rp1,8 triliun, dengan pelunasan sudah mencapai Rp1,88 triliun. “Jadi TKB (tingkat keberhasilan pengembalian) kami cukup baik,” katanya lagi.

Setali tiga uang, Head of Communication and Business Partnership Mekar, Annisa Fauzia bilang, pihaknya berharap industri fintech peer to peer lending lebih sehat dan berkembang lagi. Menurutnya, dengan industri yang sehat maka kepercayaan masyarakat juga bisa meningkat. “Target kita bisa reach borrower dan lender di seluruh Indonesia. Kita jadi platform connect investor dan borrower,” tukasnya.

Sementara itu, Business Partner Lead TaniFund, Lutfia Aisya berkata, pihaknya menargetkan jangkauan TaniFund bisa semakin luas, dan mampu mencakup seluruh Indonesia. “Industri agri semakin dijadikan fokus. 2019 sudah banyak bermunculan e-commerce agrikultur,” ucapnya.

Regulator fintech, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah fintech lending yang berpotensi merugikan masyarakat karena tidak memegang izin operasi dan sudah diblokir ada sebanyak 1.230 perusahaan selama periode Januari 2018-Agustus 2019. Kehadiran fintech ilegal ini cukup meresahkan masyarakat. Padahal sejatinya, perusahaan fintech ini hadir untuk memberikan dukungan pembiayaan kepada masyarakat yang belum terakses akses keuangan formal atau unbankable.

Selain dari sisi keabsahan aktivitas perusahaan fintech, yang kudu memeroleh perizinan dari OJK, industri ini juga masih dihadapkan dengan persoalan literasi digital yang belum dipahami seluruh lapisan masyarakat Indonesia. “Memang literasi digital itu jadi problem tersendiri. Seperti pada petani itu banyak yang bilang, Mbak ke anak saya saja yang biasa pakai gadget. Jadi memang perlu continuity dari sisi pendampingan,” ujar Lutfia.

Kendati masih dihadapkan dengan beberapa persoalan seperti imej miring akibat banyaknya pinjol bodong yang aktivitasnya cukup meresahkan masyarakat, pun dari sisi literasi digital. Namun demikian, industri ini memiliki kemampuan untuk berkembang dengan lebih cepat apabila desain model bisnisnya ditopang oleh infrastruktur teknologi yang mumpuni dan cakap dalam menjaga data nasabah atau konsumen.

Head of PR & Corporate Communication Finmas, Rainer Emanuel berkata, perusahaan fintech lending bisa bergerak dinamis berkat inovasi dan diferensiasi bisnis. “Selanjutnya, perusahaan fintech lending sebaiknya memiliki program komunikasi dan edukasi yang baik untuk mendapatkan kepercayaan konsumen,” tegasnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News