Industri Data Center RI Kalah dari Negara Tetangga, Ini Penyebabnya

Industri Data Center RI Kalah dari Negara Tetangga, Ini Penyebabnya

Jakarta – Saat ini, data center saat ini menjadi salah satu industri yang menjanjikan. Pasalnya, kebutuhan data center tak bisa dilepaskan dari tren perkembangan teknologi digital yang juga kian melaju pesat. Ini membuat semua pihak semakin membutuhkan tempat penyimpanan data yang efisien dan aman seperti di data center.

Walaupun demand-nya besar, ternyata pasar data center Indonesia masih kalah besar dengan banyak negara. Bahkan, masih kalah dengan negara tetangga Singapura yang luas geografis dan jumlah penduduknya sangat jauh lebih kecil ketimbang Indonesia.

Berdasarkan data Structure Research, Cushman and Wakefield, pangsa pasar data center Indonesia di 2024 berada di belakang Singapura dan Malaysia.

Indonesia memiliki jumlah data center sebanyak 430 data center, Malaysia sebanyak 532, Singapura sebanyak 717, Jepang sebanyak 1.202, London sebanyak 1.030, Tiongkok sebanyak 4.800, dan Amerika Serikat sebanyak 10.300.

Founder dan CEO DCI Indonesia, Otto Toto Sugiri membeberkan bahwa Indonesia sebetulnya memiliki peluang pengembangan pasar data center paling besar di Asia Tenggara. Ini karena Indonesia memiliki populasi dan segmen market yang sangat besar bagi industri data center.

Baca juga: Siap Adopsi AI, BDx Sebar Infrastruktur Data Center di RI

Bahkan, menurutnya, pangsa pasar data center di Indonesia itu dapat mencapai di atas 40 persen dari total pangsa pasar data center di Asia Tenggara. Namun, kesalahannya ialah Indonesia selalu terlambat mengejar peluang inovasi yang ada.

“Seperti biasa, kita punya peluang besar, tapi kita selalu terlambat untuk bergerak. Dari dulu, negara kita sebenarnya kaya SDA, namun kita tak bisa menampilkan nilai tambah lebih besar. Thanks God sekarang pemerintah sudah bicara hilirisasi,” jelas pria yang akrab disapa Toto ini, pada acara IDE Katadata 2025 di Jakarta, Selasa (18/2/25).

Ketertinggalan menangkap peluang disebabkan oleh kurang agile-nya pemerintah maupun segenap stakeholder ekonomi nasional dalam memanfaatkan potensi bisnis dari setiap inovasi baru yang ada. Kurangnya agility itu menyebabkan Indonesia, hanya dalam waktu dua tahun, tertinggal dari Johor Bahru dari sisi pasar data center.

“Bukan Malaysia loh, Johor Bahru saja, dari sisi size data center, investasi yang masuk ke data center. Sekarang lalu Thailand mulai mengejar, dan kita masih berjalan di tempat,” tuturnya.

Lebih jauh, Toto menerangkan, ketidakgesitan Indonesia dalam menangkap peluang dicerminkan oleh sejumlah hal. Isu pertama dan utama, yakni kemudahan dalam melakukan bisnis. Pemerintah Indonesia masih kurang menerapkan single window atau sistem satu pintu dalam birokrasinya untuk memfasilitasi para pelaku bisnis asing masuk Indonesia.

Baca juga: Ada Potensi Cuan USD3,37 Miliar di Bisnis Data Center RI, Menkominfo Budi Lakukan Ini

Kedua adalah soal perpajakan, seperti terobosan tax amnesty dan lainnya. Menurutnya, ini turut menarik minat pelaku usaha atau investor asing untuk menanamkan modal dan menjalankan bisnisnya di Indonesia.

“Untuk membangun data center berukuran 1 gigawatt di Indonesia itu harus melalui proses yang berliku-liku. Misalnya, untuk memangkas tax holiday atau pembebasan PPN dari investasi yang sebegitu besar. Perusahaan asing itu frustasi dengan ini,” tegas Toto.

“Ini beberapa isu yang masih menyelimuti pasar data center nasional, sehingga investasi (dari asing) itu mengalir ke negara lain. Maka, satu-satunya adalah ease of doing business dan program atau kebijakan yang transparan,” lanjutnya. (*) Steven Widjaja

Related Posts

Top News

News Update