Indonesia Sulit Capai Target Penurunan Emisi Karbon, Ini Penyebabnya

Indonesia Sulit Capai Target Penurunan Emisi Karbon, Ini Penyebabnya

Poin Penting

  • Target puncak emisi energi Indonesia mundur tujuh tahun, dari 2030 menjadi 2037, akibat proyeksi lonjakan produksi listrik PLTU dan dominasi energi fosil dalam bauran energi nasional.
  • Kebijakan emisi saat ini dinilai tidak sejalan dengan target iklim global, karena meski target ENDC 2022 tercapai, emisi Indonesia masih tinggi dan berpotensi melampaui batas kenaikan suhu 1,5°C.
  • Indonesia belum menyerahkan dokumen SNDC meski tenggat September telah lewat; koalisi masyarakat sipil mendesak peningkatan komitmen iklim menjelang COP 30.

Jakarta – Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Just Coalition for Our Planet (JustCOP) menagih komitmen pemerintah Indonesia dalam penurunan emisi setara karbondioksida secara global yang memanaskan bumi.

Dengan kebijakan energi saat ini, puncak tertinggi emisi karbon Indonesia yang seharusnya dicapai pada tahun 2030, justru diprediksi mundur hingga 2037. 

“Puncak tertinggi emisi sektor energi Indonesia ditargetkan mundur tujuh tahun dari proyeksi dalam strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim sampai 2050 (Long Term Strategy -Low Carbon and Climate Resilience – LTS -LCCR),” ujar Syaharani, Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dalam diskusi daring di Jakarta (14/10/25). 

Ia menjelaskan, kemunduran target tersebut merujuk pada Rencana Ketenagalistrikan Indonesia terbaru (RUKN 2024-2060) yang menyebutkan bahwa produksi listrik dari PLTU diperkirakan melonjak dan mencapai puncaknya pada 2037. 

Baca juga : Gabung PCAF, BTN Target Nol Emisi Karbon dari Pembiayaan di 2060

Selain itu, merujuk juga pada Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menyebutkan bahwa 79 persen bauran energi pada 2030 masih berasal dari energi fosil. 

“Saat ini, target penurunan emisi karbon Indonesia dengan proyeksi Business as Usual (BAU) pada 2030 masih merefleksikan kenaikan emisi 148 persen bila dibandingkan dengan emisi karbon pada 2010,” katanya.

Selain itu, dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang berlaku saat ini belum secara spesifik menyebut target pensiun dini pembangkit listrik batubara, yang mendominasi penyedia listrik di berbagai sektor industri di Indonesia.

Dengan mundurnya target ini, sebut dia sektor energi yang menjadi penyumbang emisi terbesar masih akan membuang emisi lebih besar lagi. Ini sudah pasti melampaui tolak ukur batas kenaikan suhu sebesar 1.5 derajat celcius dari masa pra industri. 

“Artinya, jika target ENDC Indonesia yang dibuat pada 2022 terpenuhi, Indonesia sebenarnya masih menghasilkan emisi cukup signifikan,” kata Syaharani. 

Baca juga : GRP Bakal Ekspansi ke Eropa, Pasok Baja Gulungan Nol Emisi Karbon

Kenaikan emisi mengakibatkan bumi memanas dan krisis iklim akan semakin parah. Karena itu, JustCOP mendorong agar pemerintah segera meningkatkan target komitmen penurunan emisi Indonesia melalui Second Nationally Determined Contribution (SNDC).

Lampaui Tenggat Penyerahan Dokumen SNDC

Sementara itu, jelang konferensi para pihak untuk perubahan iklim (COP 30) yang akan berlangsung pertengahan November 2025, hingga saat ini Indonesia belum juga menyerahkan dokumen SNDC. 

Tenggat penyerahan telah terlewati, yakni September lalu. Namun, Tri Purnajaya, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri optimis Indonesia akan segera menyerahkan dokumen tersebut. 

Namun, Syaharani mengingatkan agar publik harus realistis karena Indonesia masih terus menggenjot pertumbuhan ekonomi. 

“Komitmen Indonesia harus diselaraskan dengan target pembangunan 8 persen. Kita bukan satu-satunya yang belum menyerahkan dokumen SNDC, baru setengah (dari negara-negara yang menyepakati Perjanjian Paris) yang menyerahkan,” pungkasnya. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

News Update

Netizen +62