Jakarta – Survei Standard Chartered mengungkapkan bahwa perusahaan AS sangat optimis terhadap pertumbuhan di ASEAN selama 12 bulan ke depan. Dalam survei itu, Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara pilihan utama untuk ekspansi perusahaan Amerika Serikat (AS) dalam mencari peluang pertumbuhan dikawasan ASEAN.
Hal ini berdasarkan survei Standard Chartered yang hasilnya dituangkan dalam “Borderless Business: US-ASEAN Corridor”, sebuah laporan strategis yang mengamati peluang besar untuk pertumbuhan lintas batas di koridor perdagangan antara AS dan negara- negara di ASEAN.
Mayoritas perusahaan AS juga mengharapkan pertumbuhan bisnis yang kuat di wilayah ini dalam kurun waktu hingga 12 bulan ke depan dengan 93% responden mengharapkan peningkatan pendapatan dan 86% berharap adanya ekspansi produksi.
Survei mengungkapkan bahwa para eksekutif perusahaan AS berfokus pada ekspansi untuk menangkap peluang penjualan dan produksi di Singapura (58%), Indonesia (45%), Thailand
(43%), Filipina (38%), Malaysia dan Vietnam (keduanya sebesar 35%).
Dengan populasi yang diproyeksikan meningkat menjadi 723 juta pada tahun 2030 dan 67% di antaranya diperkirakan
berada di kelas menengah, ASEAN akan terus menjadi pasar yang menarik bagi perusahaan-perusahaan AS.
Penduduk Indonesia yang saat ini jumlahnya lebih dari 270 juta orang tetap
menjadi daya tarik terkuat bagi perusahaan AS untuk memperluas basis konsumen dan produksi mereka di kawasan ASEAN.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan realisasi investasi April-Juni 2021 (kuartal II 2021) mencapai Rp223,0 triliun dan total data realisasi investasi Januari-Juni 2021 mencapai Rp442,8 triliun.
Penanaman modal asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) pada triwulan II tahun 2021 meningkat 19,6% dibandingkan triwulan yang sama di tahun 2020, dan naik 4,5% dari triwulan I tahun 2021.
Amerika Serikat masih menjadi salah satu dari 10 negara dengan sumber investasi terbesar bagi Indonesia.
Steven Cranwell, CEO, Americas, Standard Chartered, mengatakan, berkat pasar yang cukup besar, peningkatan adopsi teknologi baru, dan kelas menengah yang berkembang pesat, ASEAN terus dipenuhi dengan peluang bisnis yang menarik bagi perusahaan AS di berbagai sektor.
“Selagi perusahaan AS terus mengembangkan ambisi usahanya, laju pertumbuhan mereka di wilayah yang dinamis ini juga akan bergantung pada kemampuan mereka dalam mendiversifikasi produksi untuk meningkatkan ketahanan rantai pasokan sehingga tetap selaras dengan harapan konsumen dan prioritas pemerintah seperti dalam hal praktik Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola, selain juga pada kemitraan dengan pemain industri lokal, lembaga keuangan lembaga dan instansi pemerintah,” kata Steven Cranwell.
Terlepas dari optimisme mereka, para eksekutif AS yang disurvei mengakui adanya risiko di ASEAN yang harus dimitigasi.
Tiga risiko teratas yang teridentifikasi adalah ketidakpastian geopolitik dan konflik perdagangan (73%), pemulihan ekonomi yang lambat dan penurunan minat belanja konsumen (65%), serta pandemi COVID-19 atau krisis kesehatan lainnya yang sedang berlangsung (63%).
Lebih lanjut, para responden juga setuju bahwa penyesuaian model bisnismereka dengan praktik dan kondisi industri di ASEAN (68%), pemahaman akan peraturan regional, metode pembayaran dan infrastruktur (60%), serta hubungan dengan pemasok dan adapatasi rantai pasokan logistik (55%) adalah sejumlah tantangan paling signifikan yang mereka
antisipasi dalam 6-12 bulan ke depan. (*)