Oleh Ida Bagus Kade Perdana
PASCA deregulasi perbankan dengan Pakto 88 jumlah bank membludak menjadi 234 unit sebagai bank domestik menjadikan bank sangat berlebihan (overdosis) dengan daya saing dari segi efisiensi, jenis produk, sumber pendapatan, pangsa pasar, permodalan, dan asset masih relative lebih rendah dibandingkan dengan perbankan di kawasan Asean. Belum lagi dibandingkan dengan bank-bank dikawasan Asia dan dibandingkan dengan pasar perbankan global. Ke depan perlu dibenahi agar para bankir nasional yang ada sekarang tidak terkungkung di zona nyaman dan harus mampu melakukan kaderisasi dan regenerasi secara profesional serta menciptakan terobosan yang visioner agar daya saing perbankan domestik sanggup berlaga unggul dipasar global secara efisien dan efektif, positif dan kondusif sehingga keberadaannya bisa disejajarkan utamanya dengan perbankan dikawasan Asean.
Mengingat semakin pentingnya peran pasar keuangan dalam pembiayaan ekonomi, diperlukan upaya memperkuat system keuangan domestik dengan penguatan skill dan kompetensi sumber daya manusia (SDM). Termasuk sikap profesionalismenya dibidang perbankan maupun kemampuan managerial dan leadershipnya agar menjadi lebih kreatif, inovatif dan produktif juga berkemampuan memanfaatkan teknologi dalam menciptakan produk dan layanan perbankan yang prima dan visioner mudah efisien dan efektif. Sehingga mampu menciptakan banknya memiliki daya tahan yang mumpuni, modern dan canggih dalam teknologi dengan pelayanan yang prima dari berbagai guncangan sehingga sebagai agen pembangunan mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional menjadi bank yang unggul dikawasan ASEAN khususnya yang mampu mengharumkan nama NKRI dikancah global secara fantastic, spektakuler dan prestisius. Agar tidak seperti beberapa tahun belakangan ini cenderung kinerja perbankan jauh dari harapan para stakeholder.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode November 2018 jumlah bank umum di Indonesia sudah menurun jumlahnya tercatat masih 115 bank. Angka ini belum dikurangi dengan aksi merger yang dilakukan oleh Bank Danamon dan Bank Nusantara Parahyangan (BNP). Dengan jumlah bank nasional sebanyak itu kami sependapat dengan Perhimpunan Bank Bank Umum Nasional (Perbanas) yang menyebutkan jumlah bank Indonesia terlalu banyak. Sebaiknya BI dan OJK sebagai lembaga makroprudensial dan mikroprudensial mempertimbangkan kehendak Ketua Umum Perbanas Kartika Wiryoatmodjo yang menghendaki jumlah bank ini harus dikurangi yang mengatakan bahwa jumlah bank idealnya dikisaran 50 – 70 bank. Dengan mengedepankan kualitas bank daripada kuantitas bank dan menerapkan branch banking system apalagi adanya kemajuan teknologi membuat perbankan tidak ada kesulitan untuk menjangkau pelosok-pelosok terpencil. Demi mensukseskan program inclusive keuangan sehingga wong cilik kaum marhaen dimana pun keberadaannya diseluruh nusantara dapat tersentuh layanan perbankan, sehingga semua masyarakat Indonesia menjadi bank minded.
Menurut hemat kami, BI dan OJK juga perlu memikirkan bahwa keberadaan perbankan nasional harus difokuskan pada kualitas daripada kuantitas yang sepertinya jumlah bank di tanah air masih overdosis (kebanyakan). Oleh karena itu, dibutuhkan konsolidasi dengan menerbitkan aturan akuisisi atau merger misalnya dengan menaikkan batas minimum permodalan bank. Bila itu dirasa sulit untuk dilaksanakan apakah sebaiknya kita serahkan saja kepada mekanisme pasar atau kehendak alam yang menyeleksinya. Seperti dengan adanya wabah Covid-19 yang menimbulkan dampak resesi ekonomi yang cenderung berpotensi menjadi depresi ekonomi untuk mengurangi jumlah bank-bank nasional yang dipandang jumlahnya overdosis. Dengan jumlah bank yang masih ada sekarang kisaran 115 bank yang dapat diklasifikasikan ke dalam empat Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) yang sekarang sudah menurun jumlah menjadi kisaran 96 bank.
Menurut data OJK per Maret 2020 jumlah bank sebanyak 96 buah bank meliputi BUKU I merupakan bank bank dengan modal inti senilai Rp100 miliar sampai Rp1 triliun sebanyak 12 bank. BUKU II memiliki modal inti senilai Rp1 triliun hingga Rp5 triliun sebanyak 52 bank. BUKU III modal inti diatas Rp5 triliun hingga Rp30 triliun sebanyak 26 bank dan BUKU IV dengan modal inti diatas Rp30 triliun sebanyak 6 bank. Selain dari nilai asset, salah satu indikator suatu bank bisa disebut sebagai bank besar di Indonesia adalah berdasarkan modal inti yang merupakan keseluruhan modal yang dimiliki bank untuk menjalankan kegiatan usaha bank. Meliputi modal disetor ditambah keuntungan yang diperoleh setelah dipotong pajak.
Modal merupakan bantalan yang memberikan perlindungan terhadap aneka potensi risiko yang akan mempengaruhi keamanan dana deposito, kredit yang dikucurkan dan institusi. Memberikan kepercayaan kepada deposan, pemberi pinjaman dan pemangku kepentingan. Secara umum, modal berfungsi dan bermanfaat untuk menangkis berbagai potensi risiko seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional dan risiko likuiditas. Jadi seyogyanya baik BI maupun OJK hendaknya lebih memfokuskan kebijakannya pada kualitas daripada kuantitas bank demi terjaga tingkat kesehatan bank dan system keuangan dengan mengurangi jumlah bank yang dinilai berlebihan jumlah bahkan dikatakannya sebagai Negara yang jumlah bank terbanyak.
*)Penulis adalah Ketua BANI Bali Nusra, Wakil Ketua Umum Kadinda Prov. Bali Bidang Fiskal Moneter dan Mantan Dirut PT. Bank Sinar Jreeeng (sekarang PT. Bank Mandiri Taspen/Bank Mantap).