Jakarta – Untuk pertama kali, Indonesia hadir dalam sidang Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) 16 – 19 Oktober 2019 di Paris dengan “seat & flag” sendiri dan berstatus “observer”.
Kehadiran Indonesia dalam sidang FATF tersebut, menandai dimulainya kiprah Indonesia di forum atau satuan tugas khusus yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme di dunia.
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh FATF diakui sebagai standar internasional yang harus dipedomani dan dilaksanakan oleh setiap negara dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin menyatakan, bahwa sidang FATF kali ini menjadi sangat krusial bagi Indonesia dikarenakan adanya 2 (dua) isu yang dibahas dan ditetapkan oleh FATF Plenary, yaitu Pertama, jadwal pelaksanaan mutual evaluation Indonesia sebagai salah satu syarat dan prosedur baku untuk menjadi “full members” atau anggota penuh FATF.
“Kedua, adanya pembahasan mengenai quality and consistency atas hasil Mutual Evaluation Report (MER) Indonesia yang telah ditetapkan pada sidang tahunan Asia/Pacific Group (APG) on Money Laundering ke-21 yang diselenggarakan pada bulan Juli 2018 di Kathmandu-Nepal,” kata Kiagus dalam siaran yang diterima Infobank, di Jakarta, Jumat, 19 Oktober 2018.
Berdasarkan prosedur yang berlaku di FATF, untuk menjadi anggota penuh FATF, harus melewati proses penilaian kepatuhan paling lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkan sebagai observer.
Indonesia telah ditetapkan sebagai observer pada bulan Juni 2018, sehingga pelaksanaan penilaian kepatuhan Indonesia oleh FATF atas FATF Recommendations harus dilakukan paling lambat bulan Juni 2021.
Namun, dengan telah selesainya dilaksanakannya penilaian kepatuhan Indonesia oleh APG pada bulan Juli 2018 dengan hasil “satisfactory”, maka Indonesia mengajukan usulan percepatan pelaksanaan penilaian kepatuhan Indonesia oleh FATF, yang secara langsung juga akan mempercepat diperolehnya status “full member” bagi Indonesia.
Pada sidang FATF di Paris tersebut, Indonesia yang diwakili oleh pejabat dari PPATK, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Keuangan mengajukan usulan waktu pelaksanaan penilaian kepatuhan oleh FATF pada bulan September 2019 yang hasilnya akan dibahas pada Oktober 2020.
Terhadap usulan Indonesia ini, baik pada saat pembahasan di sesi Evaluation and Compliance Group (ECG) dan Plenary, didukung oleh 15 negara, antara lain Rusia, Malaysia, India, Jepang, Australia, Singapura, China, Afrika Selatan, dan negara-negara anggota FATF lainnya.
Hanya Amerika Serikat dan Inggris yang berpendapat, bahwa Indonesia masih membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk mengatasi defisiensi yang sudah teridentifikasi pada penilaian kepatuhan sebelumnya.
Hal lainnya yang dibahas pada sidang FATF di Paris mengenai quality and consistency atas hasil MER yang telah dilaksanakan dan ditetapkan oleh APG pada bulan Juli lalu, khususnya pada Immediate Outcome 8 (IO8) mengenai efektivitas penyitaan terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).
Adapun isu ini merupakan usulan dari Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada. Namun, negara-negara anggota FATF seperti Rusia, Malaysia, India, Korea, Perancis, Australia, dan China memberikan dukungan pada Indonesia, dengan menyatakan bahwa hasil MER yang dilaksanakan oleh APG telah memiliki kualitas dan konsisten dengan FATF Standards, sehingga rating IO8 tetap dapat dipertahankan pada substantial level.
Keputusan ini ditetapkan baik pada sesi ECG maupun sesi Plenary.
Hasil yang optimal dicapai oleh Delri pada Sidang FATF kali ini tidak terlepas dari dukungan Presiden RI dan komitmen seluruh Pimpinan K/L terkait, serta efektivitas forum Komite TPPU.
Dengan telah resmi dipublikasikannya dokumen hasil penilaian kepatuhan Indonesia yang dilaksanakan oleh APG yang merupakan tindak lanjut dari hasil Plenari di Paris menunjukan, bahwa Indonesia telah siap dan memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota penuh FATF sesuai protokolnya.
“Dengan menjadi anggota penuh FATF, Indonesia dapat ikut merumuskan secara langsung rekomendasi atau standar internasional di bidang anti-pencucian uang dan pendanaan terorisme sehingga sejalan dengan kepentingan nasional,” tutup Kiagus. (*)