Oleh: Eko B. Supriyanto
Pimpinan Redaksi InfoBank
INDIKATOR Ekonomi Indonesia mulai merah. ”Winter is Coming” demikian Presiden Joko Widodo pernah mengatakan. Saat ini kondisi perekonomian dunia sedang menurun. Ekonomi Indonesia dipastikan terdampak. Setiap penurunan Ekonomi China maupun Amerika Serikat, ekonomi Indonesia dipastikan juga turun.
Kedua Negara yang sedang perang dagang itu menjadi kunci penting pertumbuhan ekonomi Indonesia. Internasional Monetary Fund (IMF juga mengkoreksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,2 persen (2019).
Pemerintah sendiri memproyesikan pertumbuhan Ekonomi Indonesia tahun 2020 masih 5,2 persen. Tapi, Biro Riset InfoBank memproyeksikan pertumbuhan Ekonomi Indonesia tidak lebih dari 4,9 persen.
Ada banyak faktor mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak lebih baik dari tahun ini. Selain penurunan volume perdagangan dunia dan ketidakpastian geopolitik dan Pemilu AS.
Sumber ketidakpastian penting juga di dalam negeri. Sektor primer pertanian dan pertambangan (0,66%), sektor sekunder industry pengolahan, listrik, gas (1.33%) dan masih beruntung masih tingginya sektor tersier, seperti sektor keuangan, perdagangan, transportasi, informasi dan komunikasi.
Penyakit kronis yaitu current account defisit (CAD) masih berlum terselesaikan. Bahkan terus “merah”.Tahun ini diperkirakan masih lebar, yaitu sekitar US$33 miliar. Atau, diperkirakan naik dibandingkan tahun sebelumnya yang US$31 miliar. Necara Perdagangan yang harusnya bisa surplus juga mengalami defisit (Jan-Sep 2019) masih US$ 1,94 miliar. Pelemahan harga komoditas, batubara, minyak sawit dan karet. Buruknya kebijakan hilirisasi. Angka kunjungan wisata asing juga tidak sesuai tarter 20 juta. Eh, malah direvisi menjadi 18 juta. Kenapa? Karena realisasi tahun 2019 hanya 14,04 juta.
Meski sektor keuangan masih mendorong pertumbuhan ekonomi, sektor keuangan dan perbankan, tapi rentan karena financial deepening sektor keuangan juga tidak beranjak dalam. Sektor perbankan akan terdampak dari penurunan perdagangan – yang hal itu bisa dilihat dari tekanan non performing loan (NPL).
Bank dunia sendiri sudah mengingatkan risiko reputasi dalam penyelesaian kasus Jiwasraya dan Bumiputera. Amankah badan usaha dimiliki oleh Negara? Tapi, mengapa Jiawasraya milik BUMN sampai saat ini belum dapat menyelesaikan kewajibannya? Itulah pertanyaan pengusaha Korea Selatan dalam sebuah kesempatan.
Meski posisi utang luar negeri masih relative aman jika dibandingkan dengan PDB, masih 36,2 persen. Risiko utang luar negeri ini tetap harus diwaspadai. Pendapatan Negara lewat pajak juga dalam kondisi lampu kuning. Jadi, utang luar negeri ini jangan menjadi candu. Utang untuk membayar bunga utang.
Pekerjaan rumah kita masih banyak. Pemerintahan periode Jokowi-JK sebenarnya sudah banyak melakukan kebijakan. Kementrian perekonomian sudah mengeluarkan deregulasi setidaknya 16 paket. Tapi hasilnya belum dirasakan. Kunjungan wisata yang diluar target 20 juta kunjungan juga tidak tercapai. Impor seperti semudah memutar kran.
Kementrian BUMN juga tidak kinclong, ada empat BUMN yang membuat geleng-geleng kepala. Lihat saja, Garuda Indonesia dengan restatement dan rugi Rp2,45 triliun. Bukan soal ruginya, tapi GCG nya yang jadi soal. Semester I Tahun 2019 Garuda untung US$19,1 juta.
Juga, ada Krakatau Stell (KRAS) yang kabarnya “dijarah” hingga berutang mencapai US$2,49 miliar dengan utang jangka pendek US$1,59 triliun. Ini menjadi bom waktu bagi bank BUMN dan tentu KRAS yang juga merugi selama 6 tahun bertuntun. Ada, juga soal Jiwasraya dan Pos Indonesia. “Rakor-rakor ke daerah membutuhkan energi yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Hampir tiap minggu rakor, kapan kerjanya?” keluh seorang profesional BUMN yang diparkir oleh Rini Soemarno.
Sektor kelautan – kebijakan yang diingat oleh public adalah tenggelamkan kapal. Menteri Susi sangat popular tanpa beban. Tapi, apakah sektor laut kita maju di banding negera tetangga misalnya Vietnam? Tidak. Indonesia yang menguasai 70 persen laut Asia Pacific kalah dalam ekspor ikan dengan Vietnam. Tahun lalu Vietnam mengekspor US$ 8,9 miliar. Sedangkan Indonesia baru memproyeksikan ekspor ikan di tahun 2020 US 5,9%.
Puncaknya adalah tidak masuknya investor China ke Indonesia. Tidak satu pun dari 33 investor China yang satu pun tidak masuk ke Indonesia. Kurang apa Indonesia dengan China. Bahkan, China pun merilik Arab Saudi sebagai tempat untuk investasi.
Apakah Jokowi salah pilih menteri ekonomi, sehingga salah kebijakan? Di periode kedua ini, atau periode tanpa memikirkan akan jadi presiden kambali. Jokowi-Amin harus memilih Menteri Ekonomi dengan sebutan “Dreaming Team”. Tidak mudah mengelola Ekonomi Indonesia. Perlambatan ekonomi global dan disruption serta digital ekonomi.
Jadi, tidak ada jalan lain kecuali Jokowi harus merombak jajaran menteri ekonominya.
Tim ekonomi harus dirombak total. Sudah waktunya bekerja dan bukan “rapat-rapat” ke seluruh negeri. Tantangan ke depan tidak mudah. Pengalaman kabinet sebelumnya yang jujur saja – banyak kemampuannya di bawah rata-rata.
Boleh jadi Menteri ekonomi setidaknya teknokrat — yang market friendly dan tetap mematuhi tata kelola yang baik. Juga, dapat menjabarkan visi Jokowi bukan kampanye atau pencitraan untuk dirinya sendiri. Ia juga harus punya keberanian dalam mengambil keputusan, karena memang punya kemampuan yang mumpuni.
Karena indikator ekonomi yang “memerah”, Jokowi harus merombak total Tim Ekonomi. Kita ingin melihat Ekonomi Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera, bukan mensejahterakan diri sendiri atau “kroni-kroni” Menteri Ekonomi, termasuk partai yang menjadi sponsornya.
(*)