Oleh Mario Angkawidjaja, Pemohon Uji Materiel No. 85/PUU-XXII/2024
DALAM beberapa bulan terakhir, saya bersama rekan-rekan sejawat dari dunia akademik memutuskan untuk menentang konstitusionalitas Pasal 7 angka 57 dan angka 6, serta Pasal 276 angka 13 UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Kami terdorong oleh kekhawatiran yang mendalam akan implikasi serius yang dapat secara potensial ditimbulkan oleh UU ini terhadap independensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan yang lebih penting lagi, terhadap hak-hak konstitusional nasabah di seluruh Indonesia atas kepastian hukum.
Independensi LPS dalam Persimpangan
Pada dasarnya, permohonan kami menyasar dua pokok ketentuan. Pertama adalah ketentuan yang mengharuskan rencana kerja dan anggaran tahunan LPS untuk mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Kedua adalah ketentuan yang memberikan kewenangan kepada LPS untuk menempatkan dana pada bank dalam penyehatan berdasarkan permintaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketentuan pertama secara terang-terangan merupakan ancaman langsung terhadap prinsip independensi LPS. LPS didirikan dengan mandat untuk melindungi kepentingan nasabah melalui mekanisme penjaminan simpanan yang bebas dari intervensi politik. Dengan kata lain, LPS harus berfungsi sebagai lembaga yang sepenuhnya otonom, mampu membuat keputusan teknokratik berdasarkan kepentingan stabilitas sistem keuangan dan kepentingan nasabah, bukan berdasarkan arahan atau kepentingan politik tertentu. Prinsip independensi ini telah dijamin di dalam Pasal 7 angka 2 UU 4/2023 jo. UU 24/2004 tentang LPS, dan selaras dengan IADI Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems.
Prinsip tersebut juga telah dijamin oleh Pasal 23D UUD 1945. Menurut doktrin monetary constitutionalism, pasal ini tidak cukup jika hanya dibaca sebagai jaminan atas independensi bank sentral, karena dalam perkembangannya tugas bank sentral terbagi kepada institusi moneter yang lain, seperti OJK dan LPS. Untuk itu, pasal tersebut perlu dibaca sebagai jaminan atas independensi institusi-institusi yang masuk ke dalam sistem tata kelola moneter.
Status independensi LPS telah melahirkan pengharapan yang wajar (legitimate expectation) pada diri nasabah bahwa segala potensi persoalan yang dapat membahayakan simpanan nasabah akan ditangani oleh LPS berdasarkan pertimbangan teknokratik dan tanpa intervensi politik. Dengan adanya ketentuan “persetujuan Menteri Keuangan”, maka kepastian hukum terkait pengambilan keputusan LPS yang teknokratik dan independen berpotensi menjadi hilang, dan sudah sepatutnya nasabah sadar akan ancaman ini. Karena, Menteri Keuangan dapat saja menolak rencana kerja dan anggaran tahunan apabila rencana dalam dua rancangan dokumen tersebut mengindikasikan kebijakan yang bertentangan dengan preferensi pemerintah.
Bahkan, jika ketentuan persetujuan menteri tersebut dikaitkan dengan Pasal 276 angka 28 yang menambahkan klausul Pasal 36C UU PPKSK, yang menyebutkan bahwa LPS “dapat memberikan penjaminan terhadap seluruh simpanan milik pemerintah pada bank dalam rangka pelaksanaan kebijakan penanganan permasalahan perekonomian nasional”, maka semakin jelas menunjukkan adanya potensi pengarahan rencana kerja dan anggaran LPS untuk kepentingan pemerintah tanpa batas yang sarat akan kepentingan politis dibandingkan dengan kepentingan penjaminan masyarakat yang nyatanya dibatasi baik dari segi nominal sebesar Rp2 miliar maupun syarat 3T (tercatat, tidak melebihi suku bunga, dan tidak menyebabkan bank gagal). Padahal, anggaran penjaminan LPS bersumber dari kontribusi masyarakat atau nasabah.
Peran LPS dalam menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perbankan sangat penting, terutama dalam situasi krisis keuangan. Bayangkan jika keputusan strategis yang seharusnya diambil dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan stabilitas jangka panjang harus melalui persetujuan politik terlebih dahulu. Ini adalah resep bagi ketidakpastian dan, yang lebih mengkhawatirkan, bagi potensi konflik kepentingan. Oleh karena itu, ketentuan ini secara terang-terangan bertentangan dengan Pasal 23D UUD 1945.
Baca juga: LPS Menang Gugatan Kasus Penyitaan dan Pengembalian Aset Bank Century di Pengadilan Mauritius
Tumpang Tindih Kewenangan
Selain persoalan persetujuan rencana kerja dan anggaran, UU P2SK memperkenalkan ketentuan yang memberikan kewenangan kepada LPS untuk melakukan “penempatan dana” pada bank dalam rangka penyehatan, berdasarkan permintaan dari OJK. Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tumpang tindih kewenangan antara LPS dan Bank Indonesia (BI) yang selama ini telah diakui sebagai lender of the last resort.
Ketentuan dalam UU P2SK secara tegas menyatakan bahwa penempatan dana oleh LPS hanya dapat dilakukan apabila bank yang berstatus sebagai “bank dalam penyehatan” tidak memenuhi syarat sebagai penerima pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah dari BI. Syarat yang dimaksud ialah solvabilitas, agunan yang cukup, dan proyeksi arus kas yang memadai.
Dalam dunia perbankan, kita mengenal istilah emergency liquidity assistance (ELA), yaitu kewenangan yang diberikan kepada bank sentral sebagai pilihan terakhir ketika perbankan kesulitan mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnisnya, khususnya saat periode gejolak keuangan yang menyebabkan nasabah menarik uangnya dari bank (bank run). Salah satu konsep pencegahannya ialah lender of last resort. Dari konsep ini, kita dapat melihat bahwa kewenangan penempatan dana pada LPS berpotensi menggabungkan lender of last resort yang seharusnya di bank sentral dengan deposit insurance pada LPS.
Kewenangan ini juga memberikan risiko yang sangat besar kepada LPS, yakni melakukan penempatan dana pada bank yang menurut BI tidak layak mendapatkan fasilitas pinjaman likuiditas jangka pendek ataupun pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah.
Dualisme atau potensi konflik kewenangan antara LPS dan BI dapat merusak integritas dan efektivitas penanganan krisis perbankan. Situasi di mana dua lembaga yang seharusnya bekerja sama justru berada dalam posisi saling tumpeng tindih, tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum, tetapi juga mengancam stabilitas keuangan negara.
Melindungi Hak Konstitusional Nasabah
Di tengah segala potensi dampak negatif tersebut, hal yang paling mendesak bagi kami adalah melindungi hak konstitusional nasabah bank di Indonesia. UU P2SK, dalam bentuknya saat ini, berpotensi merugikan nasabah karena adanya risiko bahwa LPS tidak dapat menjalankan fungsinya secara independen dan efisien. Ketika simpanan mereka tidak lagi dijamin oleh lembaga yang bebas dari intervensi politik, nasabah akan kehilangan rasa aman dan kepercayaan yang sangat penting dalam setiap hubungan perbankan.
Hak atas jaminan simpanan adalah bagian dari hak konstitusional yang dijamin oleh negara. Negara berkewajiban untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas perlindungan hak-hak tersebut, seperti LPS, dapat beroperasi tanpa gangguan eksternal yang tidak perlu. Judicial review yang kami ajukan adalah upaya untuk memastikan bahwa hak-hak ini tetap terjaga, dan bahwa sistem keuangan kita tidak dikorbankan demi kepentingan jangka pendek.
Baca juga: Hingga Juni 2024, LPS Sudah Jamin 583,82 Juta Rekening Nasabah
Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman dari masa lalu, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), mengajarkan kita betapa berbahayanya intervensi politik dalam pengelolaan krisis keuangan. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. LPS harus tetap independen, bebas dari tekanan politik, dan mampu menjalankan mandatnya untuk melindungi nasabah dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
Kami berharap bahwa MK akan melihat urgensi dari judicial review ini dan mengambil keputusan yang bijaksana demi kepentingan bersama. Melalui upaya ini, kita berharap dapat memperkuat fondasi hukum dan kelembagaan yang diperlukan untuk melindungi hak-hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia.(*)