Diskusi publik Catatan Akhir Tahun INDEF: Liburan di Tengah Tekanan Fiskal. (Tangkapan layar Zoom Meeting/Julian)
Poin Penting
Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai Indonesia perlu segera mengaktifkan mesin-mesin pertumbuhan ekonomi selain konsumsi rumah tangga agar mampu menembus pertumbuhan di atas 5 persen, bahkan mencapai 6 persen sesuai target pemerintah ke depan.
Hal tersebut mengemuka dalam forum diskusi publik “Catatan Akhir Tahun INDEF: Liburan di Tengah Tekanan Fiskal”, yang digelar secara daring, Senin, 29 Desember 2025.
Baca juga: BI Sebut Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2025 Didorong Ekspor dan Belanja Pemerintah
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, menegaskan bahwa ketergantungan pada konsumsi rumah tangga sudah berlangsung terlalu lama dan perlu dikurangi. Menurutnya, investasi, ekspor, dan pengeluaran pemerintah harus lebih dioptimalkan sebagai motor pertumbuhan ekonomi.
Dengan mengoptimalkan ketiga komponen tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak hanya tertahan di angka 5 persen, tetapi berpeluang menembus 6 persen.
"Nah, sehingga peran dari investasi, ekspor dan pengeluaran pemerintah ini bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi tidak hanya 5 persen tapi bisa mencapai lebih dari 5 persen. Syukur-syukur bisa 6 persen sesuai target," ujarnya dalam diskusi tersebut.
Senada dengannya, Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto, pada kesempatan yang sama menyampaikan bahwa untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen diperlukan dorongan kebijakan fiskal dan moneter yang kuat dan terkoordinasi.
Eko menegaskan pentingnya penguatan sektor keuangan dan sektor riil, serta sinergi antara faktor domestik dan internasional. "Itu dua-duanya harus jalan juga," katanya.
Menurut Eko, pertumbuhan ekonomi tinggi tidak mungkin tercapai tanpa lonjakan pertumbuhan kredit.
Baca juga: BI Optimistis Pertumbuhan Kredit Desember 2025 Tembus 8 Persen
Ia menilai, pertumbuhan kredit perlu ditingkatkan hingga dua kali lipat dari kisaran saat ini agar target pertumbuhan ekonomi ambisius dapat direalisasikan.
"Pastikan strategi-strategi tadi diramu dengan baik, dan ada dirigen yang memastikan ini bisa berjalan. Karena pasar itu butuh rasionalitas," imbuhnya.
"Satu aspek data yang sangat penting adalah tidak ada cerita tumbuh 6 persen dengan credit growth hanya 8-12 persen. Sehingga mau gak mau pesannya dari sini kalau di sisi moneter adalah dua kali lipatkan ya pertumbuhan kredit saat ini dan baru kita bicara pertumbuhan di atas 5 persen," pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Program INDEF, Eisha Maghfiruha Rahbini, mengingatkan bahwa upaya mendorong pertumbuhan tetap harus memperhatikan risiko global yang masih membayangi, seperti ketegangan geopolitik, perang dagang, inflasi, dan perlambatan ekonomi dunia.
Ia menekankan pentingnya kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif, namun tetap disertai prinsip kehati-hatian, stabilitas sektor keuangan, dan pengelolaan fiskal yang prudent.
"Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang akomodatif itu diperlukan untuk mendorong pertumbuhan, namun tetap makro prudensial, kestabilan sektor keuangan, dan juga menjaga fiskal yang prudent itu juga perlu dilakukan," katanya.
Baca juga: Bos OJK Beberkan Kondisi Sektor Jasa Keuangan di Tengah Tensi Perang Dagang
Menurutnya, pemerintah perlu juga mengatur “gas dan rem” secara seimbang agar pertumbuhan tetap terjaga tanpa memicu risiko makroekonomi.
"Jangan tancap gas terlalu kencang, tapi juga tetap harus hati-hati, jadi diatur gas dan remnya," tuturnya.
Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, Imaduddin Abdullah, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut menambahkan bahwa peningkatan pertumbuhan harus dibarengi dengan peningkatan kualitas, terutama melalui penguatan industrialisasi.
Menurutnya, industri yang bergerak dinamis akan mendorong permintaan kredit yang lebih tinggi, sehingga saling memperkuat antara sektor riil dan sektor keuangan.
"Karena pasti pada akhirnya, kalau misalnya industri ini bisa semakin dinamis bergerak saya pikir kredit juga akan semakin tinggi. Dan mana tadi saya pikir ini juga akan mendorong Indonesia bergeser dari negara konsumen ke negara produsen," katanya.
Baca juga: ADB Proyeksikan Ekonomi RI Tumbuh 5,1 Persen pada 2026
Imaduddin juga menyoroti pentingnya kepastian usaha sebagai kunci utama. Ia menilai bahwa bagi pelaku usaha, kepastian regulasi, kepastian fiskal, dan kepastian kebijakan sering kali lebih penting dibandingkan insentif jangka pendek. "Agar memang pelaku usaha dan ekosistem industri ekonomi kita bisa tumbuh juga," imbuhnya.
Lebih lanjut Imaduddin mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dikejar ke depan tidak hanya harus tinggi secara angka, tetapi juga berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan.
"Sehingga setiap manfaat ekonomi yang tumbuh dari ekonomi bisa semua dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, dan harapannya di tahun 2026 semoga ekonomi kita semakin cerah," tutupnya. (*)
Page: 1 2
Poin Penting IHSG ditutup naik 1,25 persen ke level 8.644 pada perdagangan 29 Desember 2025.… Read More
Poin Penting INDEF menilai pertumbuhan ekonomi 6 persen hanya bisa dicapai jika kredit perbankan naik… Read More
Poin Penting INDEF menilai pertumbuhan ekonomi pascapandemi belum diikuti perbaikan upah riil. Meski pengangguran turun,… Read More
Poin Penting IHSG sesi I menguat 0,87 persen ke level 8.612,47 dengan nilai transaksi mencapai… Read More
Poin Penting Rupiah dibuka melemah 0,16 persen ke level Rp16.772 per dolar AS pada awal… Read More
Poin Penting Harga emas Antam turun Rp9.000 ke Rp2.596.000 per gram. Buyback ikut melemah ke… Read More