Jakarta — Bank Dunia dalam laporannya terkait kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EODB), menaikkan peringkat Indonesia ke posisi 72 pada tahun 2017. Namun peningkatan peringkat tersebut dinilai tidak menggambarkan kondisi secara nyata dan menyeluruh dari berbagai daerah di Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus. Heri menilai, penilaian yang dilakukan di dua kota yakni Jakarta dan Surabaya tersebut kurang menggambarkan kondisi investasi di Indonesia.
“Ease of doing business ini patokannya hanya Jakarta dan Surabaya. Artinya yang baik hanya Jakarta dan Surabaya, bukan daerah-daerah lainnya, sementara investor kalau mau investasi di Indonesia tidak cuma di Jakarta dan Surabaya. Jangan sampe investor ini menilai katanya gampang, ease of doing business-nya naik, tapi kok investasi di Sulawesi susah,” ungkap Heri di kantor pusat INDEF, Jakarta, Jumat, 10 November 2017.
Heri menambahkan, pemerintah harus lebih konsen membenahi regulasi dan juga meningkatkan indikator kemudahan bisnis di berbagai daerah terutama diluar Jawa. Hal tersebut guna terciptanya standarisasi kemudahan bisnis yang menyeluruh.
“Jadi harus semua daerah Indonesia berusaha untuk samakan standar kemudahan investasi seperti Surabaya dan Jakarta. Pemerintah juga harus beri tolak ukur untuk kemudahan berbisnis tersebut,” tambah Heri.
Sebagai informasi, Bank Dunia telah melakukan penelitian dan survei mengenai kemudahan berbisnis atau EODB di kedua kota yakni Jakarta dan Surabaya. Dalam laporannya, peringkat Indonesia naik ke posisi 72 pada tahun 2018, dibandingkan posisi 2017 yang hanya di peringkat 91. (*)