Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan IV 2023 hanya akan mencapai 4,9 persen.
Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi masih akan membayangi kinerja ekonomi di Triwulan IV 2023, sehingga risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi masih mungkin berlanjut.
Di sisi lain, adanya momentum libur panjang Nataru (Natal dan Tahun Baru) dapat menjadi kesempatan adanya peningkatan konsumsi hingga meningkatnya likuiditas yang dapat mengakselerasi kinerja ekonomi.
Baca juga: Ekonomi RI Tak Capai 5 Persen, Ini Dia Alasan Sri Mulyani
“Ditambah lagi dengan mulai meriahnya pesta demokrasi Pemilu, serta belanja APBN yang masih perlu terus dipacu. Dengan demikian masih terdapat peluang peningkatan belanja untuk masyarakat,” kata Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad dalam keterangan tertulisnya, Selasa 7 November 2023.
Tauhid pun menyebutkan ada tiga langkah prioritas untuk meredam kegiatan ekonomi politik di triwulan IV 2023. Pertama, mempertahankan daya beli masyarakat dengan memanfaatkan momentum Natal dan tahun baru serta tidak naiknya harga BBM subsidi.
Kemudian, bantuan sosial perlu dilakukan reformasi total agar jumlah penerima dikurangi dengan data terbaru dan menambah belanja sosial untuk 10 persen masyarakat terbawah.
“Belanja Pemilu juga perlu dioptimalkan untuk mendorong konsumsi masyarakat meningkat maupun sektor-sektor terkait (industri makanan dan minuman, industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman, sektor transportasi dan pergudangan, penyediaan akomodasi dan makan minum serta informasi dan komunikasi) semakin baik,” imbuhnya.
Kedua, mengoptimalkan belanja Pemerintah pada bulan-bulan terakhir dengan mempercepat belanja modal. Bahkan, bila perlu belanja modal di atas 100 persen mengingat anggaran masih sangat memadai. Selesaikan prioritas-prioritas infrastruktur nasional yang masih tertunda.
Baca juga: Ekonomi Melambat di Triwulan III 2023, Waspadai Hal Ini di Tahun Politik
Ketiga, peningkatkan pasar tradisional ekspor pada mitra dagang utama yang tetap tinggi. Penurunan pasar China, Jepang dan Amerika perlu dibarengi dengan upaya peningkatan ekspor di negara India, Malaysia, Philipina, Singapura, Vietnam, Taiwan dan Thailand.
“Hal ini perlu insentif dan pencegahan PHK industri yang terpengaruh dari pelemahan ekspor, yakni industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, industri karet, barang dari karet dan plastik dan industri furniture,” pungkas Tauhid. (*)