Poin Penting
- INDEF memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen pada 2026, namun menilai ketergantungan pada konsumsi rumah tangga masih berisiko.
- Tekanan global dan tingginya impor melemahkan daya saing ekonomi nasional dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya.
- Diversifikasi pertumbuhan melalui investasi, ekspor, dan belanja pemerintah dinilai krusial agar ekonomi tumbuh lebih kuat.
Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 berada di kisaran 5 persen secara tahunan (year-on-year/YoY). Proyeksi ini mencerminkan stabilitas ekonomi domestik, namun dinilai belum cukup kuat untuk menghadapi tantangan global yang kian kompleks.
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti menyatakan, capaian tersebut tidak boleh membuat pemerintah terlena, terutama jika pertumbuhan masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga.
“Mengaktifkan mesin-mesin pertumbuhan ekonomi yang lain itu suatu hal yang fardhu ain (wajib) gitu ya. Jadi cukup sudah ya, konsumsi rumah tangga ini sudah terlalu lama ya mendominasi dan berkontribusi secara dominan terhadap pertumbuhan ekonomi (domestik),” ujarnya dalam forum Diskusi Publik–Catatan Akhir Tahun INDEF: Liburan di Tengah Tekanan Fiskal, yang digelar secara daring, Senin, 29 Desember 2025.
Baca juga: Kejar Ekonomi Tumbuh 6 Persen, INDEF Nilai Kredit Harus Naik 2 Kali Lipat
Menurut Esther, prospek ekonomi ke depan tetap dibayangi ketidakpastian global. Konflik geopolitik serta fragmentasi perdagangan internasional membuat arah perekonomian dunia sulit diprediksi, sehingga berdampak pada negara berkembang seperti Indonesia.
Di dalam negeri, pemulihan ekonomi juga belum sepenuhnya solid. Tekanan harga komoditas pangan dan energi masih membebani masyarakat, sementara daya beli belum kembali ke level optimal. Kondisi ini diperparah dengan tingginya ketergantungan impor, baik untuk barang modal maupun kebutuhan pangan, yang menyebabkan aliran devisa kembali keluar negeri.
Daya Saing Indonesia Tertinggal dari Negara Tetangga
Esther menilai fundamental ekonomi Indonesia relatif lebih rapuh dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini berimplikasi pada lemahnya daya saing nasional di tengah gejolak global.
“Kalau dilihat ya, negara tetangga itu kan ada Singapura, Malaysia, Thailand, dan seterusnya, mereka memang terdampak (dinamika perekonomian global), tetapi karena imunitas pertumbuhan ekonominya itu relatif kuat, jadi terdampaknya enggak parah-parah banget gitu,” imbuhnya.
Baca juga: INDEF Ungkap Strategi Ekonomi RI Tembus 6 Persen di Tengah Tekanan Fiskal
Untuk memperkuat fondasi ekonomi, INDEF mendorong agar sumber pertumbuhan lebih terdiversifikasi. Pemerintah diminta mengoptimalkan belanja negara agar menghasilkan multiplier effect yang nyata bagi masyarakat. Di sisi lain, sektor ekspor perlu diarahkan pada pengembangan produk bernilai tambah tinggi.
“Investasi, kemudian ekspor, dan pengeluaran pemerintah ini juga harus aktif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga peran dari investasi, ekspor, dan pengeluaran pemerintah ini bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi tidak hanya 5 persen tapi bisa mencapai lebih dari 5 persen,” pungkas Esther.
Proyeksi Ekonomi RI 2026 versi INDEF
Adapun INDEF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 berada di level 5 persen dengan nilai tukar rupiah di kisaran Rp17.000 per dolar AS.
Tingkat inflasi diproyeksikan terjaga pada 3 persen, sementara Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) diperkirakan mencapai 4,75 persen.
Dari sisi kesejahteraan, tingkat kemiskinan diprediksi berada di angka 8,45 persen dengan rasio Gini sebesar 0,373. (*)










