Jakarta – Meskipun masih cukup banyak aspek yang perlu dibenahi dalam pengawasan perbankan, namun secara keseluruhan manajemen risiko dan pengawasan perbankan masih berjalan baik. Hal ini terlihat dari Rasio Kecukupan Modal (Car) yang masih kuat atau di level 22,16% dan NPL 3,01% per Mei 2020.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Pengamat Perbankan dari INDEF, Eko Listiyanto seperti dikutip di Jakarta, Senin, 13 Juli 2020. Eko menilai, persoalan yang dihadapi oleh pemangku kepentingan saat ini adalah sektor riil Indonesia yang mengalami perlambatan. Padahal sektor riil ini sangat berkaitan dengan kinerja bank.
“Sehingga stabilitas indikator kuatnya modal dan terjaganya risiko tersebut (CAR dan NPL) juga akan sangat ditentukan seberapa cepat sektor riil bangkit dari keterpurukan,” ujar Eko.
Lebih lanjut dirinya menambahkan, berdasarkan aturan umum untuk CAR perbankan nasional saat ini dikaitkan dengan profil risikonya, secara umum di angka 11%. Namun demikian, menurut Eko, dengan posisi CAR perbankan di angka 22,16% per Mei 2020, menggambarkan bahwa CAR perbankan masih stabil.
“Masalahnya distribusi angka 22,16% tersebut kemungkinan besar tidak merata atau sama besar antar bank, bank BUKU I dan BUKU II mungkin lebih bervariasi tetapi setidaknya tetap di atas batas yg ditetapkan OJK,” ucapnya.
Sementara itu, indikator lain yang menunjukan ketahanan perbankan adalah pada rasio kredit bermasalah. Jika aturan menetapkan batas NPL 5%, maka saat ini secara umum NPL perbankan berada di angka 3,01%. “Ini juga masih di bawah threshold OJK meskipun memang data kredit yang direstrukturisasi saat ini tidak menambah angka NPL,” pungkas dia.
Adapun aturan CAR dan NPL tersebut berlaku umum, sehingga dalam situasi Covid-19 pun aturan tersebut juga masih tetap dipakai.
“Memang ada sedikit relaksasi sampai Maret 2021 pada aturan CAR terkait Capital Conservation Buffer dan ATMR (bagi BUKU III dan IV). Tetapi intinya, justru Covid-19 ini menguji apakah aturan CAR dan NPL tersebut memang terbukti relevan untuk merepresentasikan stabilitas perbankan,” jelas Eko.
Menanggapi keberadaan Bank Jangkar, sebagaimana diatur dalam Perpu No.1 tahun 2020 untuk antisipasi risiko sistemik industri perbankan nasional, dirinya menilai bahwa program tersebut bertujuan untuk menekan risiko bank rush atau bank run. Apalagi Bank Jangkar berisi bank-bank besar yang 51% sahamnya dimiliki WNI.
“Jadi dari sisi positifnya risiko yang mungkin saja terjadi di tengah Pandemi Covid 19, di mana jika ada bank-bank ‘bermodal cekak’ dan likuiditas mulai tersendat maka jika bermitra dengan Bank-bank Jangkar tersebut memang akan mengurangi aspek risiko bank rush atau bank run,” jelas Eko.
Namun, lanjutnya, mekanisme berpartner dan aturan dari OJK harus diperjelas agar tidak menimbulkan risiko reputasi, karena ada potensi sulitnya ‘menjodohkan’ bank yang mengalami kesulitan likuiditas dengan bank yang masih sehat.
Eko menambahkan, memang ada bank yang memerlukan suntikan modal. Akan tetapi sebaiknya langkah suntikan modal ini dilakukan melalui mekanisme pasar. Sebab, katanya, krisis likuiditas ini akan teratasi jika ekonomi mulai pulih. “Ekonomi akan membaik jika pandemi teratasi,” tutupnya. (*)