Poin Penting
- Program makan bergizi gratis (MBG) dikritik karena munculnya kasus keracunan pelajar, ketidaktransparanan anggaran, dan potensi korupsi dalam pelaksanaannya.
- INDEF menilai tata kelola MBG harus diperbaiki dengan sertifikasi dapur yang ketat, pengawasan berbasis sains, serta peningkatan kualitas kesehatan dan gizi anak sebagai tujuan utama.
- Dengan anggaran Rp300 triliun, pemerintah diminta memastikan transparansi, memperketat audit, dan melakukan realokasi dana bila penyerapannya tidak optimal.
Jakarta – Program makan bergizi gratis (MBG) yang digagas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto masih dalam sorotan berbagai pihak, buntut dari penyelenggaraannya yang belum sempurna. Salah satunya datang dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF).
Eko Listiyanto, Direktur Pengembangan Big Data INDEF, mengatakan ada tiga alasan utama MBG mendapat sorotan adalah keracunan yang terjadi kepada pelajar, alokasi anggaran yang tidak transparan, dan potensi korupsi.
Menurutnya, pelaksanaan MBG harus kembali kepada kesehatan dan perbaikan gizi anak-anak. Eko khawatir, jika MBG dilangsungkan karena keperluan lain, maka pelaksanaannya bisa cenderung ugal-ugalan.
Baca juga: BGN Setop 2 Dapur MBG di Bandung Barat usai 502 Siswa Keracunan
“Target utamanya yang harus diingat, MBG itu bukan untuk ekonomi, tapi untuk kesehatan dan perbaikan gizi. Jadi, kalau yang diunggul-unggulkan ekonominya, saya khawatir nanti pelaksananya serampangan lagi,” katanya dalam Diskusi Publik INDEF bertajuk “Evaluasi 1 Tahun Prabowo-Gibran di Bidang Ekonomi”, Kamis, 23 Oktober 2025.
Jika program MBG ingin berhasil, lanjut Eko, maka pemerintah harus serius membenahi tata kelolanya. Diawali dengan standarisasi yang tinggi dan memperketat pengawasan dalam penyediaan makanan.
Penyediaan sertifikasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) harus diperketat. Jangan sampai ada dapur yang ingin menyajikan MBG, tetapi belum teruji klinis. Karena, dampaknya akan negatif bagi MBG.
“Sertifikasi itu harus ketat. Karena, risikonya nanti kalau sudah disertifikasi terus masih terjadi keracunan siapa yang disalahkan? Dan biaya asesornya menurut saya juga harus dilihat,” tegas Eko.
Saran lainnya adalah untuk melakukan inovasi pelaksanaan kantin SPPG. Eko mengingatkan agar pelaksanaannya dilakukan berbasis sains, demi meminimalisir potensi keracunan.
Alokasi anggaran juga perlu menjadi perhatian. Dengan biaya mencapai Rp300 triliun, penyerapannya memerlukan prinsip tata kelola yang baik. Jika tidak bisa diserap semuanya, ada baiknya dana tersebut dialihkan untuk keperluan lain.
“Kalau sudah diperkirakan sampai akhir tahun tidak bisa terserap Rp300 triliun, ya sudah, menurut saya perlu realokasi. Walaupun, ini kita nanti bicaranya jadi APBN perubahan ya, yang Perlu dikonsultasikan dengan DPR dan seterusnya,” kata Eko.
Dan terakhir, guna mengoptimalkan anggaran dan mencegah korupsi, Eko menyarankan agar audit MBG terus diperketat. Eko menyentil auditor pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya memeriksa aliran dana MBG.
“Menurut saya (anggaran MBG) harus transparan, dan lembaga-lembaga pemeriksaan di juga harus berkontribusi ya. Karena, mereka digaji sama rakyat, jadi harusnya juga berkontribusi untuk memastikan transparansi di pelaksanaan MBG ini,” tukasnya.
Baca juga: Dana MBG Rp70 Triliun Dikembalikan ke Prabowo, Ini Penjelasan Purbaya
Untuk diketahui, INDEF memperoleh data dari 426.772 perbincangan di media sosial, yang mana 2.759.930 di antaranya disebarkan atau di-retweet.
INDEF juga menyadur 18.834 pemberitaan dan 370 pidato presiden. Semua data diperoleh dari 20 Oktober 2024 sampai 20 Oktober 2025.
Di dalamnya, ada sentimen dari 8 program unggulan pemerintah. MBG mendapat sentimen paling buruk, yakni sebesar 76,9 persen. Jumlah pembicaraan negatif soal MBG mencapai 52.249. Dan hanya ada sekitar 15.686 percakapan yang positif. (*) Mohammad Adrianto Sukarso










